Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta
Di Depan Rumah Retret Itu, Kau Berlutut Memelukku
Pintu taksi membuka. Dengan anggun, Silvi turun dari dalamnya. Sesaat perasaannya kalut. Seperti ada yang mengawasi dari balik rimbun pepohonan itu. Mungkin hanya perasaannya.
Berusaha mengabaikannya, Silvi melangkah ringan memasuki area kompleks perumahan di atas bukit itu. Dilewatinya rumah demi rumah, blok demi blok. Rumah-rumah di sini kebanyakan bergaya klasik dan berukuran besar. Kesejukan udara sore khas perbukitan makin merilekskan hatinya. Menyenangkan juga bisa berjalan-jalan di sore pertama Eid Mubarak. Lebih baik di sini, dari pada di rumahnya yang isinya pengidap gadget addict semua.
Terbayang seraut wajah di pelupuk mata. Sosok tampan yang ingin ditemuinya. Bagaimanakah dia sekarang? Semakin tampankah dia? Senyum tipis bermain di bibir Silvi saat mengingatnya.
Smartphonenya bergetar. Request Skype dari seseorang.
"Silvi, kamu nekat ke sana?" Sepasang mata sipit bening di layar mencerminkan kekagetan begitu tahu keberadaan Silvi.
"Iya. Kenapa, Calvin?" balas Silvi datar.
"Please jangan ke sana, Silvi. Feelingku mengatakan, kamu akan diperlakukan buruk."
"Kamu berdoa hal buruk menimpaku?"
"Bukan begitu, Silvi. Aku..."
Klik. Silvi tetiba merasa marah. Apa hak Calvin melarangnya? Ia punya hak untuk menemui calon rohaniwan yang dicintainya.
Selang beberapa menit, Silvi sampai di sebuah rumah besar berpagar hitam. Sebuah papan nama tergantung di pagarnya. Inilah rumah yang ia cari. Bukan rumah biasa, sebuah rumah yang dipakai untuk menyepi dan membuat keputusan.