Andi Wi
Andi Wi Penulis

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Cerpen | Guru Ngaji

20 Mei 2018   03:49 Diperbarui: 20 Mei 2018   03:47 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen | Guru Ngaji
Ilustrasi: pixabay

Semua anak sudah pulang ke rumahmya masing-masing. Anak-anak tidak tahu apa yang mereka lakukan. Buat apa mereka mengaji. Mereka hanya tahu sopan santun dan satu pertanyaan simpel kepada orang tuanya: mengapa mereka harus mengaji?

Orang tuanya selalu menjaga sikap agar senantiasa terlihat lembut pasti menjawab, "Karena aku menginginkanmu begitu. Karena Ayah dan Ibu ingin kamu jadi anak pintar dan berbakti pada Tuhan."

Setelah itu tak ada pertanyaan lagi. Anak-anak tidak suka pertanyaan. Mereka lebih suka bermain dan membuat orang tua mereka bangga apa yang mereka lakukan. Mereka berangkat mengaji dan setelah pulang nanti mereka akan menunjukkan kepada orang tuanya hasil bacaan belajarnya tersebut. Cukup simpel dan kekanak-kanakan.

Mengenang masa kecilku dulu, aku kurang suka mengaji. Aku lebih suka membaca buku ketimbang menyanyikan ayat-ayat yang sama sekali tak kupahami arti dan maksudnya. Tapi aku senang karena aku punya ibu yang cakap membujuk anak untuk tetap hadir di surau kecil itu. Bersama anak-anak lain yang belajar bahasa arab.

Ibuku selalu menjanjikan kalo aku bisa membaca bahasa arab dalam waktu satu minggu aku boleh tak hadir lagi ke Surau yang sering kusebut sebagai ladang kekacauan. Aku tidak suka kekacauan. Tepatnya, aku anak-anak yang tak menyukai anak-anak.

Saat itu umurku sepuluh tahun. Dan tanpa pikir panjang aku menyanggupinya. Memang apa sih susahnya belajar bahasa orang timur itu? Cuma membaca kan? Batinku. Aku pasti bisa.

Satu hari berlalu aku belajar dasar-dasar abjad arab dan aku sudah hampir hapal. Dua hari berlalu, aku sudah hapal namun masalahnya aku sering keliru membedakan antara huruf ba' dan huruf nun. Baiklah. Yang titiknya di bawah namanya ba' dan sebaliknya. Yang dipangku atau di dalam atau di atas namanya huruf nun. Tolong diingat-ingat. Aku berdialog dengan otak monyetku.

Hari keempat aku sudah hampir bisa membaca bahasa iqro. Tepatnya jilid tiga. Tapi ternyata itu semua belum selesai karena ketika aku mulai naik satu tingkat, Pak Ustad yang mengajarku berkata, "Cemerlang," ujarnya dengan mata berbinar-binar. "Tapi..." Aku tak suka kata 'tapi'. Biasanya kalimat itu yang berlainan dan maknanya berujung pahit.

Pak Ustad itu --yang aku tak peduli siapa namanya-- menghela napas panjang seakan-akan tugas beratnya tak akan usai dalam waktu dekat ini, melanjutkan, "Kau perlu belajar tajwid dan hukum bacaan lainnya supaya kau paham kapan kau harus memanjangkan bacaanmu, memendekkannya dan mengentikannya dengan tepat."

Tajwid? Pikirku. Makanan apa lagi itu?

Kemudian lelaki tua yang kutaksir berusia 65 tahunan itu menunjuk dadaku tepat di ulu hati seperti melakukannya dengan lampu center, atau pistol, dan mengatakan kaliamat yang jauh lebih panjang, "Tapi aku yakin kau pasti bisa. Kau anak pintar. Hanya sedikit sombong. Namun aku yakin dalam waktu satu-dua bulan ke depan ini kau pasti akan menguasainya. Ini memang sulit bagi pemula tapi aku yakin kau pasti bisa."

Satu bulan berlalu dan aku belum bisa menguasainya. Dan parahnya perjanjian dengan Ibuku, aku mengaku kalah.

Dalam dua sampai tiga bulan ke depan, aku terus bolak-balik ke surau itu. Perjanjian dengan ibuku diperpanjang. Menjadi enam bulan. Ditambah, kalau aku benar-benar paham apa yang kubaca ibuku akan membelikanku sepeda baru. Sepeda keren yang memiliki cakram bagian depan-belakang yang setiap kayuhannya terasa enteng dan lembut meski pemakainya sedang menaikinya dengan kemiringan vertikal jalan 45 derajat.  

Aku ingin mendapatkan sepeda itu. Aku menginginkannya sampai-sampai setiap malam aku tak henti-hentinya mengingau di tengah malam dan terbangun dan berharap matahari muncul. Saat itu waktu terasa amat lama. Ini tak bisa dibiarkan. Jika aku tak bisa mempercepat waktu bagaimana kalau waktu sendiri yang mengulurkannya. Lalu tiba-tiba ide konyol itu terlintas.

Tengah malam aku menarik baju kokoku di belakang pintu kamar, lalu merenggut kopyah putihku yang juga terselampir di sana dan keluar jendela kamar dengan menenteng Al-Quran di tangan kananku.

Aku berlari lintang pukang macam anak bajing yang bersemangat menuju rumah Pak Ustad yang kuketahu nama belakangnya Hadi. Aku mengetuk-ngetuk pintu rumahnya sampai dia terganggu dan terbangun mengecek siapa orang yang bersalah tengah malam begini bertamu di rumahnya.

Pak Hadi membukakan pintu dan dia mengajakku masuk. "Masuklah," katanya sambil mengucek mata lalu berjalan ke meja ruang tamu sambil membenarkan sarungnya.

Aku duduk selama lima detik dan langsung mengatakan tujuanku mengganggunya.

Pak Hadi tidak tertawa. Dia cuma tersenyum. Senyum yang manis sebagai laki-laki 65 tahun. Kemudian dia memintaku mengambil air wudhu di belakang rumahnya, di sumurnya yang gelap dan kurasa agak angker.

Tapi syukurlah aku tidak datang ke sumur angker itu sendiri. Pak juga perlu wudhu katanya. Lalu disela-sela Pak Hadi menimba air, aku memanfaatkan waktuku untuk minta maaf lagi padanya telah mengganggunya tengah malam begini.

Pak Hadi sama sekali tidak menunjukkan muka marah. Dia malah menimpaliku dengan nada tenang tanpa sedikit pun terdengar ancaman, bahwa, "Yah, kau datang tepat waktu. Jam-jam segini biasanya aku memang melakukan sholat tahajud. Apa kau ingin sholat tahajud bersamaku?"

Saat itu karena aku masih merasa besalah aku jawab aku mau meskipun tujuan utamaku adalah belajar bahasa arab. Pak Hadi adalah laki-laki baik. Dia bahkan mengajariku cara-cara dan tata tertib sholat tahajud lengkap dengan doa rahasianya. Aku langsung belajar apa yang diajarkanya dan langsung merasa bodoh, ternyata ada banyak sekali hal-hal yang tak kuketahui di dunia ini. Ternyata dalam sholat tahajud yang orang-orang sebut cara membujuk tuhan, ada doa rahasianya juga.

Sesuai sholat tahajud kami langsung belajar Al- Quran. Aku mempelajarinya dengan penuh minat. Tentu saja ini kulakukan untuk sepeda gunung itu. Tak ada maksud lain lagi dibaliknya. Semoga Pak Hadi tak tahu rencanaku.

Kami belajar Al-Quran selama dua jam penuh lalu di tambah satu jam untuk belajar akidah-akhlak dan cerita nabi-nabi dan kadang-kadang jika diperhatikan dengan saksama Pak Hadi lelah dengan cerita nabi-nabi, dia akan menceritakan kisah hidupnya sendiri. Dari situ aku jadi tahu banyak tentang kisah nabi Yunus dan bahkan si penceritanya sendiri.

Pak Hadi sudah lama hidup sendiri. Istrinya meninggal saat baru pertama kali menginginkan anak namun dia tak cukup tegar untuk menghadapinya.

Aku pulang pukul tiga dini hari dan langsung tidur dengan pikiran setenang embun pagi.

Keesokan harinya, aku belajar Al-Quran lagi ke Suaru itu dan malamnya aku belajar ke rumah Pak Hadi. Selama enam bulan rencanaku mendapatkan sepeda rasa-rasanya tinggal selangkah lagi. Bagaimana dengan Ibu? Apa beliau siap menerima kekalahannya?

Empat bulan berlalu semuanya berjalan dengan lancar. Tapi aku sedikit lelah. Lelah sekali. Aku harus berangkat sekolah pagi hari, lalu belajar mengaji sore hari, lalu mengerjakan PR malam hari, lalu belajar ke rumah Pak Hadi hingga dini hari. Kadang-kadang pikiranku bercabang. Aku tak menginginkan sepeda itu lagi. Aku tak ingin memujanya seperti cita-cita. Tapi terkadang, aku tak ingin membiarkan ibuku menang tapi juga aku tak mau melihat diriku sendiri kalah.

Aku masih mengunjungi rumah Pak Hadi. Cuma bedanya di sana kami hanya menunaikan sholat tahajud. Setelah itu aku lebih senang mendengar Pak Hadi bercerita tentang kehidupannya. Kisah Pak Hadi sangat menarik untuk diperhatikan sampai-sampai membuatku tidur. Dia memiliki semua karakteristik yang dibutuhkan seorang pencerita tapi bukan untuk anak sepuluh tahun.

Yang membuatku terkagum-kagum padanya adalah saat aku tertidur di rumahnya namun saat aku terbangun justru aku telah berada di dalam kamarku sendiri. Atau sebaliknya. Aku merasa sedang tidur di kamarku tapi yang terjadi sebenarnya tubuhku tidur di rumah Pak Hadi.

Aku pernah bertanya padanya soal ini. Tapi Pak Hadi menjawab mungkin aku cuma bermimpi. Aku bermimpi mengunjungi rumahnya yang di mana tubuhku sudah berada di dalam kamarku sendiri.

"Ngomong-ngomong aku juga sering mengalami itu," cerita Pak Hadi. "Aku sering menduga diriku masih di masa lampau dimana istriku terbaring di dekatku. Tertidur pulas seperti tanpa beban."

***

Sejak kecil aku sudah tak memiliki seorang Ayah. Aku anak tunggal. Enam bulan berlalu setelah aku mati-matian belajar mengaji bersama Hadi, tepat enam bulan, ibuku meninggal dunia.

Sepeda itu tak pernah ia belikannya meskipun itu artinya aku sudah mengusai seluruh hal yang perlu kukuasai. Ibuku tak pernah mengujiku apakah aku benar-benar menguasainya. Jadi di sini tak ada yang menang maupun kalah.

Namun bagaimana pun akhirnya, aku tetap belajar Al-Quran sampai aku merasa cukup dengan ilmuku sampai masyarakat menyebutku ustad.

Pak Hadi meninggal dua bulan setelah kematian ibuku. Dan itu adalah pukulan terberat dalam hidupku. Setelah Ibu, tak ada lagi yang aku punya di dunia ini. Kecuali kepada-Nya. Aku adalah miliknya.

***

Semua anak-anak sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Sebagai guru ngaji, aku sering mengajarkan pada murid-muridku untuk belajar keikhlasan. Meskipun kupikir itu yang paling penting, tapi terkadang jika sedang sendirian aku berbaring di atas tikar di atas sajadahku menunggu adzan perasaan kembali ke masa lampu melingkupiku lagi.

Andi Wi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun