Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Dosen

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Lebih Menghargai Makanan di Ramadan Ini

14 April 2021   09:50 Diperbarui: 15 April 2021   04:04 2926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebih Menghargai Makanan di Ramadan Ini
Ilustrasi sajian menu berbuka puasa. (Foto: Shutterstock via KOMPAS.COM)

Ramadan tahun 2020 lalu adalah kali pertama dilewati saat pandemi. Saya masih ingat betul, pertengahan Maret 2020 menjadi waktu awal kita bekerja dan bersekolah dari rumah.

Nah, akhir April 2020 kaum muslimin sedunia menjalankan ibadah shaum Ramadan 1441 H. Tentu saja banyak penyesuaian saat Ramadan pertama kalinya di tengah pandemi setahun lalu.

Hal yang paling terasa berbeda yaitu absennya buka puasa bersama (bukber). Padahal, biasanya saat Ramadan acara bukber selalu dinanti-nanti.

Ketika itu, masyarakat khawatit keluar rumah. Pemerintah pun melarang kumpulan banyak orang di ruang publik, termasuk sholat tarawih berjama'ah di masjid.

Saya dan keluarga sempat mengalami fase ketakutan (berlebihan) setiap kali mendengar berita terbaru tentang COVID-19 di Ramadan tahun 2020 lalu. Akibatnya, kami jadi super waspada setiap kali akan keluar rumah.

Salah satu hal yang paling kami khawatirkan ketika itu adalah kelangkaan bahan pangan. Tak sedikit toko dan pasar yang menutup kegiatannya karena pembatasan kegiatan di awal pandemi melanda Indonesia.

Orang tua saya sampai cemas jika keluarga kami harus bertahan hidup dengan stok makanan seadanya. Ketakutan itu pun semakin terasa tiap kali menonton berita tentang perkembangan pandemi di seluruh dunia.

Waktu itu, berita dari Inggris dan  Australia melaporkan adanya antrian panjang di supermarket dengan adanya lockdown. Sudahlah mengantri lama, eh rak supermarket kosong pula isinya!

Bagaimana kami tidak jadi panik melihat berita itu? Pikir kami, di negara-negara maju saja sampai terjadi kelangkaan pasokan makanan selama lockdown.

Mari habiskan setiap makanan dan minuman kita selama Ramadan untuk mengurangi sampah makanan (Ilustrasi: unsplash.com/Eiliv-Sonas Aceron)
Mari habiskan setiap makanan dan minuman kita selama Ramadan untuk mengurangi sampah makanan (Ilustrasi: unsplash.com/Eiliv-Sonas Aceron)
Lalu, ini apa jadinya di negara berkembang seperti Indonesia? Jangan-jangan kondisinya nanti malah lebih parah daripada kasus di sejumlah negara adidaya itu.

Maka itulah, Ramadan tahun 2021 kali ini, kami telah belajar dari pengalaman berbelanja makanan selama menjalankan shaum ketika pandemi di tahun 2020. Ini karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti Ramadan sebelumnya.

Belanja makanan per minggu

Kemungkinan terjadinya kelangkaan makanan saat Ramadan selama pandemi tahun lalu sempat membuat kami kalap berbelanja. Frekuensi belanja pangan bisa 4-5x/minggu.

Untuk menghindari kerumunan orang, kami memang tak sering belanja ke pasar maupun supermarket. Gantinya kami belanja ke beberapa warung sayur-mayur di sekitar rumah.

Akibatnya, jumlah jenis pangan yang serupa menumpuk di kulkas. Ibu saya pernah membeli lebih dari satu bungkus tempe di penjual sayur terdekat dari tempat tinggal kami.

Eh, sepulang dari pasar, Bapak saya juga membeli beberapa bungkus tempe. Jadilah hampir selusin tempe ukuran besar yang harus dihabiskan kami berempat sekeluarga secepatnya.

Ramadan tahun ini pun kami mengurangi frekuensi belanja makanan. Jumlahnya yaitu 1-2x belanja pangan per minggu.

Sebelum belanja, kami juga memastikan bahan makanan yang masih tersisa di kulkas. Contohnya, saat stok tahu masih ada, kami tidak dulu membeli tempe.

Selain itu, jenis buah-buahan segar pun kami batasi. Per minggu, kini kami hanya membeli 2-3 jenis buah yang berbeda.

Saat masih banyak orang yang kelaparan, jelas tak bijak kalau kita sampai menumpuk apalagi sampai membuang makanan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan sebanyak 13,8% balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9% lainnya menderita gizi buruk yang berpangkal dari kurangnya konsumsi makanan sehari-hari.

Biasakan membawa daftar belanjaan sebelum membeli makanan agar mengurangi kemubaziran (Ilustrasi: unsplash.com/Mike Haupt)
Biasakan membawa daftar belanjaan sebelum membeli makanan agar mengurangi kemubaziran (Ilustrasi: unsplash.com/Mike Haupt)

Lebih teliti setiap membeli

Sebelum pandemi, kita bisa berlama-lama di tempat umum, termasuk pasar dan supermarket. Jadi makanan dan minuman yang kita beli bisa dicermati dulu kualitasnya satu per satu.

Selama pandemi, jangankan berlama-lama, keluar rumah pun benar-benar dilakukan sesingkat mungkin. Akibatnya, belanja pangan yang kami lakukan itu seringkali berujung dengan penyesalan sesampainya di rumah.

Bagaimana tidak menyesal? Ternyata, ada saja masalah yang dijumpai saat membeli apapun dengan terburu-buru. Satu waktu, pisang yang kami beli sudah sangat matang dan lembek.

Bahkan pisang tersebut tak sedikit yang sudah busuk, sehingga tak cocok untuk dikolak apalagi digoreng. Pisang itu pun dengan berat hati dibuang.

Lain waktu, kami membeli produk ikan dalam kemasan kaleng. Produknya memang belum kadaluarsa namun sayangnya kalengnya sudah penyok di sana-sini.

Kaleng ikan pun segera dibuka untuk mengetahui kesegaran dari aromanya. Sayangnya, baunya sudah aneh sehingga terpaksa kami buang karena khawatir nantinya malah membuat sakit perut meskipun sudah dimasak.

Dugaan saya, bukan hanya keluarga kami di Indonesia yang pernah membuang-buang makanan karena tak teliti saat membeli. Menurut keterangan dari Kepala Perwakilan Badan Pangan PBB (FAO) di tahun 2020, sampah makanan atau food waste di Indonesia mencapai 13 juta ton setiap tahun.

Sekarang, kami belanja lebih lama dan hati-hati dengan tetap menetapkan protokol kesehatan. Belanja pangan pun jelas harus lebih direncanakan sebaik mungkin dengan membuat (serta menaati) daftar belanjaan agar kasus membuang makanan tak lagi harus terjadi di rumah kami.

Berbagi makanan antar tetangga

Anjuran jaga jarak dan sosial (physical & social distancing) sejak adanya pandemi di tahun 2020 lalu ternyata juga berpengaruh pada hubungan sosial. Interaksi tatap muka dengan orang lain yang tidak serumah sempat menjadi terbatas karena kita takut tertular maupun menulari orang lain.

Di masjid terdekat dari rumah, para warga rutin menyumbang makanan dan minuman berbuka (menu takjil) setiap harinya. Selain itu, ada pula konsumsi cemilan bagi jama'ah masjid yang membaca Al-Qur'an bersama (tadarusan) seusai sholat tarawih.

Sejak pandemi, kebiasaan gotong-royong berupa berbagi makanan bukber itu pun terpaksa berhenti dulu. Selama Ramadan tahun 2020 lalu, praktis mesjid di tempat kami kosong dari kegiatan bukber, tarawih, dan tadarusan.

Namun, siapa sangka kebiasaan para warga memasak dengan porsi lebih banyak (sekaligus enak) selama Ramadan tetap berjalan meskipun tak lagi dibagikan. Bisa ditebak, menu bukber itu kadang tersisa karena satu keluarga sudah kenyang memakannya.

Keluarga kami juga sempat beberapa kali tak menghabiskan kolak ataupun beragam bubur manis yang sudah dibuat banyak. Kami acapkali lupa bahwa tak ada bukber maupun tadarusan bersama di mesjid saat itu yang biasanya menerima sumbangan makanan dan minuman saat Ramadan dengan tangan terbuka.

Alhasil, kemubaziran kembali terjadi di rumah kami, baik dalam bentuk bahan pangan segar maupun makanan olahan, duh sedih deh. 

Menurut laporan dalam "Food Sustainable Index" di tahun 2018 yang diterbitkan The Economist Intelligent Unit bersama Barilla Center For Food and Nutrition Foundation, rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan per tahun.

Ramadan ini, anggota grup WA per RT di tempat kami saling menawarkan menu buka yang dimasak di rumah masing-masing. Jika ada yang berminat, masakan bisa diantarkan atau diambil langsung tergantung keadaan dan kesepakatan antar warga.

Tetangga di kanan-kiri rumah juga menjadi prioritas utama bagi kami untuk berbagi menu Ramadan. Kami pun memasak dengan menghitung terlebih dahulu jumlah orang yang akan memakannya sehingga makanan dan minuman dapat dihabiskan sesuai dengan porsi yang tersedia.

Kita memang belum bisa memperkirakan tentang Ramadan tahun depan yang kembali terjadi saat pandemi ataupun sudah tak menghantui lagi. Namun, Ramadan tahun 2021 ini kita bisa lebih menghargai setiap rezeki yang diterima dengan salah satu caranya yaitu menghabiskan makanan yang ada di meja kita.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun