Muhammad Alfan
Muhammad Alfan Mahasiswa

Part of my life. Agama, Kitab kuning, Buku, Novel, Film & Mindset.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Sunnah Puasa Syawal Setelah Sebulan Berpuasa, Apa Hikmahnya?

14 Mei 2021   08:02 Diperbarui: 14 Mei 2021   09:42 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunnah Puasa Syawal Setelah Sebulan Berpuasa, Apa Hikmahnya?
Source: Pexels.com

Key Points

Nabi Muhammad saw bersabda, "Barang siapa puasa di bulan Ramadan kemudian melanjutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka pahala puasanya seperti berpuasa selama setahun." (H.R Muslim)

Hadis ini harus dipahami secara komprehensif dengan teori ushul fiqh supaya tidak terjadi misinterpretation yang berpotensi merusak implementasinya.

Kata 'barang siapa' yang menggunakan frasa dalam teori ushul fiqh mengindikasikan makna universal sehingga setiap orang dengan berbagai latar belakang masuk ke dalamnya.  Namun, kata tersebut dikhususkan dengan sebuah pekerjaan berupa 'puasa di bulan Ramadan'.

Selanjutnya, maksud dari 'melanjutkan puasa 6 hari di bulan Syawal apakah hanya berlaku bagi orang yang melakukannya setelah hari raya lebaran atau bisa juga bagi orang yang melakukannya di tengah atau akhir Syawal?

Imam Nawawi berpendapat (Nawawi, 1972) selama puasa dilakukan pada bulan Syawal, maka masih bisa dikategorikan sebagai orang yang melanjutkan puasa 6 hari di bulan Syawal.

Namun, yang lebih utama ialah dilakukan setelah hari raya agar mendapat keutamaan menyegerakan kebaikan, tidak menunda-nunda yang berpotensi membuat lalai. (Al-Bakri, 1997).  

Dari sini bisa kita pahami bahwa syarat untuk mendapatkan keutamaan pahala seperti puasa setahun harus dilakukan oleh seseorang yang berpuasa ramadan secara sempurna.

Maksudnya, seorang yang puasa Ramadannya belum sempurna jika ingin mendapatkan keutamaan puasa Syawal sebaiknya menyempurnakan puasa Ramadannya terlebih dahulu dengan cara meng-qadha puasa Ramadan, meskipun sebenarnya menurut pendapat kuat jika puasa qadha sebanyak 6 hari dilakukan pada bulan Syawal pun dapat memenuhi kesunahan tetapi keutamaannya tidak seperti orang yang menyempurnakan puasa Ramadan terlebih dahulu. 

Karena itu, sebagian 'Ulama menyarankan agar melanjutkan puasa 6 hari di bulan Dzulqa'dah, saran ini berdasarkan pada pendapat lemah yang menyatakan puasa qadha pada bulan Syawal tidak menghasilkan kesunahan puasa Syawal (As-Syirbini, 1994).

Penulis berpendapat bahwa jika 6 hari puasa yang dilakukan ketika Syawal, meskipun oleh seseorang yang memiliki hutang puasa Ramadan, jika niatnya melakukan sunnah puasa Syawal bukan qadha tidak jauh bila dikatakan tetap mendapatkan keutamaan pahala puasa selama setahun dengan konsekuensi ia tetap memiliki hutang puasa Ramadan.

Argumennya, para pakar fiqh dalam kitab klasik menggunakan redaksi "jika melakukan puasa qadha, nazar, atau puasa sunnah seperti puasa senin pada bulan Syawal menurut pendapat kuat bisa memenuhi kesunahan puasa Syawal tetapi keutamaan pahalanya tidak."

Redaksi seperti ini menurut penulis memiliki konsekuensi pemahaman bahwa jika niatnya puasa Syawal maka keutamaannya pun dapat dihasilkan. 

Selain itu, pendapat penulis pun akan memudahkan orang-orang yang memiliki udzur seperti perempuan ketika puasa Ramadan.

Selanjutnya, terkait waktu pelaksanaan puasa Syawal penulis membaginya menjadi tiga.

Pertama, dilakukan satu hari setelah 'idul fitri dan berturut-turut selama 6 hari.

Kedua, dilakukan pada tengah atau akhir bulan dan juga berturut-turut.

Ketiga, dilakukan secara terpisah selama masih di bulan Syawal.

Kesunahan puasa Syawal merupakan pendapat madzhab Syafi'I---semoga Allah swt meridhainya. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah---semoga Allah swt meridhai keduanya, berpendapat bahwa puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya makruh secara mutlak baik dilakukan berturut-turut ataupun terpisah.

Dalam kitabnya Muwatha', Imam Malik beralasan karena tidak ada ahli ilmu yang dikenalnya mengamalkan puasa Syawal dan agar tidak dipahami oleh masyarakat awam sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. (Nawawi, 1972)

Ada juga Imam Abu Yusuf---semoga Allah meridhainya, yang menyatakan hukum makruh ketika dilakukan berturut-turut, tetapi jika tidak berturut-turut maka tidak makruh. (Al-Manawi, 1937)

Pendapat yang paling kuat ialah disunahkannya puasa Syawal karena sumbernya berdasarkan hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah. Kendati demikian, perbedaan haruslah selalu disikapi dengan bijak.

Selanjutnya, mari kita temukan filosofi atau hikmah dibalik kesunahan puasa Syawal.

Bayangkan saja, setelah wajib berpuasa selama sebulan penuh dan merayakannya pada hari idul Fitri dengan berbuka, syariat memberikan 'perpanjangan waktu puasa' selama enam hari meskipun hukumnya adalah sunnah. Pasti ada pesan tersirat di dalamnya.

Menurut Imam Zainuddin al-Manawi (1937), Syawal merupakan waktu yang sangat 'pas' untuk memuaskan nafsu makan dan minum karena ia berada tepat setelah wajibnya puasa selama sebulan. 

Seandainya syariat tidak menganjurkan puasa sunnah Syawal, kemungkinan besar manusia akan menuntut balas dengan memuaskan nafsunya.

Oleh karena itu, agar manusia tidak lepas kendali, pada bulan Syawal kita disunahkan untuk melakukan puasa. Ini sungguh merupakan bentuk perhatian yang sangat besar dari syariat.

Menunjukkan betapa syariat Islam ingin agar manusia tidak terjatuh dalam kelalaian, agar kita sebagai manusia tetap 'waras' sehingga tidak serta merta menuruti hawa nafsu seperti layaknya binatang.

Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata (Al-Mawardi, 1986: 29) "mengikuti hawa nafsu dapat menjauhkan seseorang dari sesuatu yang haq."

Entah mengapa, kata haq yang diucapkan sayyidina 'Ali karamallahu wajhah penulis menafsirkannya dengan 'kewarasan'.

Wallahu a'lamu

Daftar Pustaka

An-Nawawi, Abu Zakariya. 1972. Syarh An-Nawawi 'ala Muslim. Beirut: Dar Ihya at-Turats al 'Arabi.

Ad-Dimyathi, Abu Bakar. 1997. I'anah at-Thalibin. Dar al-Fikr.

As-Syirbini, Syamsu ad-Din. 1994. Mughni al-Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfaz al-Minhaj. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiah.

Al-Manawi, Zainuddin. 1937. Faidhu al-Qadir. Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan. 1986. Adab ad-dunya wa ad-din. Dar Maktabah al-Hayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun