Kartika E.H.
Kartika E.H. Wiraswasta

... penikmat budaya nusantara, buku cerita, kopi nashittel (panas pahit kentel) serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

"Adat Badamai", Tradisi Saling Memaafkan ala Urang Banjar

13 Mei 2021   19:45 Diperbarui: 15 Mei 2021   05:12 4920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Adat Badamai", Tradisi Saling Memaafkan ala Urang Banjar
Bermaaf-maafan Berpelukan | bandbajabarat.com


Kesultanan Banjar yang berdiri pada abad ke-16 secara resmi menjadikan Islam sebagai sumber rujukan utama tata kelola kenegaraan, meskipun masyarakat Suku Banjar-nya sendiri menurut para sejarawan justeru mengenal Islam jauh sebelum agama Islam menjadi agama resmi kesultanan.

Mereka mengenal Islam dari saudagar-saudagar muslim Pulau Jawa yang melakukan kontak dagang di beberapa titik pesisir Pulau Kalimantan bagian tenggara yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Selatan, salah satunya yang paling terkenal saat itu adalah di Muara Bahan yang sekarang lebih dikenal sebagai Kota Marabahan, ibu Kota Kabupaten Barito Kuala.

Baca Juga :  Ketika "Urang Banjar" Berlebaran

Akhirnya Islam benar-benar menemui momentumnya untuk berkembang lebih luas di Kalimantan, setelah Pangeran Samudera dengan didukung oleh beberapa tokoh penting mendirikan Kesultanan Banjar yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kesultanan, sedang beliau sendiri setelah memeluk Islam mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah.

Sejak saat itulah Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural yang begitu melekat pada masyarakat suku Banjar, hingga pertalian antara Islam dan Suku Banjar saling bertaut menjadi identitas masing-masing, layaknya idiom Islam itu Banjar-Banjar itu Islam.

Jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak sangat jelas sampai detik ini, baik dalam bentuk ritus adat (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, hukum, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.

Salah satu tradisi adat Kesultanan Banjar yang sampai sekarang masih menjadi inspirasi"ber-muamallah" Urang Banjar secara komunal alias menjalani kehidupan sehari-hari adalah adat badamai.

Baca Juga :  Balada "Ora Bisa Mulih"-nya Didi Kempot Ini Mewakili Sungkemku

Tradisi adat badamai yang juga lazim disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut ini bersumber dari Undang-Undang Sultan Adam yang resmi diundangkan pada tahun 1835  dan lebih dikenal sebagai UUSA 1835, yaitu Undang-Undang Kesultanan Banjar yang terbit diera kepimpinan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah yang memerintah pada tahun 1825-1857.

Secara spesifik, bagian dari UUSA 1835 yang menjadi rujukan adat badamai ini adalah bagian Pasal 21 yang isi bunyinya adalah "Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim"

Arti dari pasal berbahasa Melayu Banjar diatas secara lugas kurang lebih adalah "Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim". Sampai saat ini, hukum adat ini masih tetap menjadi landasan norma serta perilaku komunal masyarakat Banjar dalam menyelesaikan masalah atau dalam konteks ini bisa saling maaf memaafkan agar tidak ada perasaan dendam antara kedua belah pihak yang berselisih.

Menurut disertasi doktoral Prof. Dr. Ahmadi Hasan, M.H., cendekiawan dari UIN Antasari, Banjarmasin, adat badamai merupakan upaya penyelesaian sengketa secara damai yang dikerjakan atau dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang lazim dan melembaga pada masyarakat Banjar.

Selain itu, adat badamai  yang juga lazim disebut sebagai baakuran atau juga penyelesaian dengan cara suluh ini, bisa juga dimaknai sebagai proses perembukan atau musyawarah mufakat untuk mencapai satu keputusan bersama sebagai penyelesaian dari sebuah perselisihan yang muncul.

Adat badamai ini statusnya bisa naik menjadi hukum adat, karena masyarakat sudah menganggap sikap saling memaafkan dan berdamai sebagai sikap positif hal yang selayaknya berlaku dan ditradisikan pada lingkungan masyarakat adat Banjar secara komunal.

Baca Juga :  "Peci Pakol" Impian, Kopiahnya Para Mujahidin

Selain itu, terpilihnya adat badamai menjadi bagian dari pranata sosial masyarakat adat suku Banjar karena mekanisme ala musyawarah untuk mendapatkan keputusan terbaik, dianggap paling sesuai dengan kultur Urang Banjar, sehingga diyakini sangat efektif untuk menghindarkan terjadinya perseteruan, persengketaan, permusuhan, perselisihan, bahkan juga efektif untuk menetralisir perasaan dendam antar masyarakat yang  dapat membahayakan tatanan sosial masyarakat.

Seperti layaknya "musyawarah" pada umumnyaadat badamai juga menjadi media komunikasi yang efektif untuk mempererat silaturahmi, sekaligus jalinan kekerabatan antar sesama warga masyarakat, sehingga juga memperkuat sekaligus memperketat proses kontrol sosial dalam masyarakat yang diharapkan bisa menekan munculnya perselisihan ataupun persengketaan, sehingga  adat Badamai juga berperan menjadi katalis ketertiban dan perdamaian, juga keamanan.

Baca Juga :  Menggagas Sound of Borobudur Mementaskan "Campursari Kolosal" Alat Musik dari Seluruh Dunia

Merujuk pada peran faktual adat Badamadalam struktur sosial budaya Urang Banjar, wajar jika kemudian sampai saat ini masyarakat yang terbiasa menyelesaikan semua perseteruan, perselisihan atau persengketaan dengan adat badamai, cenderung enggan untuk menyelesaikannya melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan), bahkan untuk urusan terkait pelanggaran lalu lintas atau bahkan terkait tindakan yang bisa mengarah ke pelanggaran pidana seperti perkelahian yang berujung pada penganiayaan .

Inilah wajah Badamai  Urang Banjar!

Semoga bermanfaat.

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Selamat Idul Fitri | @kaekaha
Selamat Idul Fitri | @kaekaha

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun