Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Guru

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Langit

28 April 2022   20:52 Diperbarui: 28 April 2022   21:02 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit
Langit berbintang. Sumber: teahub.io

"24 April 2022, Bulan perbani akhir (kwartir terakhir) tampak tinggi di langit, sejajar ke arah timur tampak Saturnus, Mars, Venus, dan Jupiter. Masih ada sampai bbrp hari ke depan. Yuk ngamat, motret, dan share," cuit akun Twitter @langitselatan tiga hari lalu.

Twitter, yang baru dibeli oleh Elon Musk sekitar Rp 643 triliun tanggal 25 April lalu, merupakan flatform media sosial yang paling saya sukai. Space untuk menulis status atau pernyataan yang relatif kecil. Hanya 280 karakter. Sebelum tahun 2018 malah hanya setengahnya, 140 karakter. Bila rata-rata panjang kata dalam bahasa Indonesia sebanyak 16 karakter, maka satu cuitan di Twitter maksimal sekitar 17,5 kata. 

Perlu menata pikiran dengan seksama saat akan menulis di flatform media sosial yang satu ini. Untuk alasan kesingkatan itulah redaksi kalimat di cuitan akun @langitselatan tidak seperti kalimat standar pada umumnya.

Konjungsi: Saat Planet-Planet Bershaf

Laman Science Focus menurunkan tulisan berjudul Do the planets ever align with one another? yang ditulis oleh Nikki Withers untuk menjawab pertanyaan via email dari Gareth Brazier tentang apakah kedelapan planet dalam tata surya kita pernah menempati posisi yang relatif sejajar secara bersamaan dalam satu waktu.

"Karena orientasi dan kemiringan orbit-orbitnya, kedelapan planet besar dalam Tata Surya kita tidak akan pernah persis sejajar. Terakhir kali mereka muncul di bagian langit yang sama kita lebih dari 1000 tahun lalu, yaitu pada tahun 949 Masehi, dan mereka akan sejajar kembali pada 6 Mei 2492," jawab Withers. 

Jadi 1073 tahun lalu, atau jauh sebelum itu, barangkali beberapa dari para leluhur kita menengadahkan kepala mereka ke langit sambil menatap kagum fenomena alam ini. Kita bukan satu-satunya generasi yang antusias melihat gejala alam ini.

 Generasi setelah kita, 470 tahun yang akan datang, nampaknya akan sama antusiasnya untuk mengabadikan moment bersejarah sejajarnya kedelapan planet di Tata Surya ini. Kita, manusia, relatif sama dari waktu ke waktu bila berhubungan dengan langit. 

Fenomena sejajarnya dua planet atau lebih biasa disebut sebagai konjungsi. Menurut para ahli tidak ada dampak yang signifikan terhadap Bumi dari konjungsi planet-planet ini. Namun bagi kita yang berada di era maraknya media sosial, jelas fenomena langit ini 'fotogenik' atau bahkan barangkali instagramable.

Namun, terlepas dari euforia konjungsi empat planet selama beberapa hari ini, langit memang selalu menyuguhkan pesona bagi kita yang hidup di bawah kolongnya. 

"Langit telah menjadi bagian dari pengalaman manusia sejak kita mulai berpikir, dalam satu bentuk atau cara," kata Dr. Daniel Brown, Associate Professor di departemen Astronomi and Ilmu Komunikasi Universita Nottingham Trent sebagaimana dikutip oleh Jacqui Paterson dalam tulisannya Gazing at the Stars: Replacing Your Worries with Wonder.

Langit dan Kita

Isaac Asimov menyebutkan bahwa astronomi---juga astrologi---boleh jadi lahir dari kalangan para penggembala di daratan Babilonia---dan belahan bumi lainnya yang sekarang belum kita ketahui sejarahnya. Saat ternak gembalaan mereka tertidur, mereka berbaring di alam terbuka sambil menatap bintang-gemintang di langit. 

Pengalaman sederhana ini boleh jadi yang bertanggung jawab terhadap canggihnya penguasaan manusia akan seni membaca tanda-tanda dan peta langit. Semua ini jauh sebelum ditemukannya teleskop, sebelum kelahiran sains dan sebelum rumah-rumah kearifan dibangun. 

Catatan arkeologis menunjukkan bahwa astronomi merupakan satu dari cabang ilmu alam yang dikembangkan oleh peradaban-peradaban awal di seluruh dunia. Para astronom purba hanya bisa melakukan pengamatan dengan mengandalkan bantuan mata manusia saja. 

Meskipun demikian, menurut European Space Agency (Agensi Antariksa Eropa) manusia sudah mulai mengukur posisi benda-benda langit, membuat astrometri---ilmu pemetaan langit---yaitu salah satu cabang tertua dari astronomi.

Dalam artikelnya pada tahun 2013 lalu yang berjudul Early Humans Saw Black Hole Light in the Night Sky di laman New Scientist, Anil Ananthaswamy menginformasikan satu hal yang mengejutkan:

"Sekitar 2 juta tahun lalu, berbarengan dengan saat leluhur kita belajar berjalan tegak, sebuah cahaya muncul di langit, sebanding dengan bulan dalam terang dan ukurannya. Akan tetapi lebih mirip bola berbulu alih-alih bola bulat biasa. Kilauan tersebut keluar dari lubang hitam yang sangat besar di pusat galaksi kita yang tiba-tiba meledak ke permukaan." 

Langit selalu menawarkan keajaiban bagi manusia. Tidaklah mengherankan bila kemudian langit menjadi simbol kemahaan, ketidakterjangkauan dan Ketuhanan.

Langit dan Ramadan

Sulit untuk memisahkan Ramadan dengan langit. Penentuan awal dan akhir Ramadan mengandalkan pertanda dari langit berupa terlihatnya hilal. Mula dan akhir pelaksanaan puasa setiap harinya menggunakan tanda-tanda dari langit berupa fajar dan terbenamnya matahari. 

Dan yang paling utama tentu turunnya Al-Qur'an yang secara rohani kita persepsikan diturunkan dari langit (alam Ketuhanan) ke bumi (alam kemanusiaan). Dalam satu atau lain bentuk, kita lebih sering melihat ke langit di banding malam-malam lainnya di luar Ramadan.

Menengadahkan wajah ke langit, merupakan pengengadahan yang membawa kepada kerendahan hati. Langit adalah batas pandangan kita sebagai manusia. 

Betapa sangat tidak berartinya kita dalam skala kemahaluasan langit. Bila para ilmuwan yang berfitrat baik---saat berdiri dalam ketakjuban di hadapan langit---secara spontan berujar Rabbanaa maa khalaqta haadzaa bathilan (Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia), maka setidaknya bagi kalangan awam seperti kita ungkapan eureka kita adalah Allahu Akbar (Allah Maha Besar).  

Tulisan di hari ke-26 Ramadan ini dijeda oleh dua interupsi. Pertama, berupa kiriman camilan yang bercita rasa cokleat dari Alia---murid sekaligus teman seangkatan anak saya, Sabeela. Kedua, tugas dadakan menjadi baby sitter untuk Reva---keponakan super lucu yang berusia 7-8 bulanan. 

Bahkan untuk jeda yang kedua ini, saya harus meninabobokannya hingga pulas dengan lullaby andalan keluarga kami: lantunan shalawat. 

Namun, selepas tarawih ini tuntas juga. 

Selamat menikmati keajaiban langit di akhir hari-hari Ramadan tahun ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun