Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Penulis

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Aplikasi Favorit Kala Ramadan yang Masih Tidak ke Mana-mana

24 April 2021   16:48 Diperbarui: 24 April 2021   16:50 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi Favorit Kala Ramadan yang Masih Tidak ke Mana-mana
Ilustrasi menggunakan aplikasi di gadget. Sumber: Pexels/Cottonbro

Ramadan 2021 sebenarnya hampir seperti Ramadan 2020, karena nyaris di rumah saja. Aktivitas yang dijalankan otomatis juga masih berpeluk erat dengan teknologi digital.

Ponsel dan laptop (gadget) pasti menyala sejak pagi hingga malam secara bergantian. Saat seperti itu, tentu ada aplikasi-aplikasi yang digunakan untuk mengisi waktu yang harus produktif meski tidak makan dan minum selama 12 jam lebih.

Lewat pengalaman pribadi sejak Selasa 13 April 2021, yang merupakan hari pertama Ramadhan 1442 Hijriyah, ada beberapa aplikasi yang memang sangat rutin digunakan.

Pertama, aplikasi yang paling utama dibuka adalah Microsoft Word. Hampir tidak ada hari tanpa membuka aplikasi yang identik dengan perangkat komputer ini.

Rutinitas menulis dan menyunting naskah tetap berlanjut sampai Ramadan. Aplikasi ini juga cocok digunakan untuk menghabiskan waktu ngabuburit kalau tenaga atau daya tahan tubuh masih bagus, sehingga konsentrasi masih ada.

Kedua, aplikasi yang memang berkaitan dengan hasil dari pengerjaan di Ms. Word, yaitu Chrome. Lewat Chrome, saya memperbaharui konten di Kompasiana, membaca berita, dan berinteraksi dengan rekan maya lewat media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Kebetulan, saya tidak memasang aplikasi dua platform media sosial tersebut di ponsel. Maka, ketika membuka Chrome (di ponsel atau laptop) dan ingin membagikan hasil tulisan ke dua medsos tersebut, saya harus membuka Chrome.

Sebenarnya, lewat cara ini, saya juga menjadi tidak terlalu sering membuka medsos. Karena, ketika membuka Chrome pikiran pertama saya adalah membuka Kompasiana (ini jujur), atau membuka laman-laman berita lewat cara mengetik kata kunci harian saya.

Ketiga, aplikasi yang harus saya buka adalah WhatsApp. Bukan hanya karena relasi kerja ada di sana, pertemanan santai ada di sana, melainkan juga karena jalinan komunikasi dengan orang tua juga ada di sana. Otomatis, tidak ada batasan waktu untuk membukanya termasuk saat ngabuburit.

Saya juga menggunakan aplikasi ini untuk membagikan konten tulisan terbaru di sana, karena memang di situlah saya lebih mudah menjangkau dan tidak terlalu perlu banyak data. Bahkan, ketika paket data habis isinya--bukan masa berlakunya--saya masih bisa mengakses aplikasi ini.

Jadi, kalau saya terlihat tidak aktif di Instagram, sudah terjawab alasannya. Bukan karena terlalu idealis, tetapi juga karena faktor realistisnya. Selain itu, aplikasi ini terlalu bergantung pada konten gambar. Sedangkan, saya kurang fasih memamerkan gambar.

Sekalipun bisa mengunggah dengan gambar acak, saya masih perlu berpikir lebih. Mungkin, ini faktor perjalanan waktu. Dulu, ketika masih sekolah dan awal-awal lulus sekolah unggahan di media sosial sangat lebay dan acak unggahannya, lalu sekarang seperti sulit untuk kembali seperti itu.

Soal alternatif untuk update di Instastory, bagi saya itu juga sama dengan harus memuat data cukup lumayan untuk membuka aplikasi tersebut. Jadi, anggap saja, saya memang belum kelasnya di sana.

Tunggu saja, kalau saya sudah menganggap membeli paket data seperti membeli nasi bungkus. Hehehe.

Lalu, yang keempat adalah aplikasi yang menurut saya ini favorit banget, yaitu Youtube. Mungkin, ada yang langsung mencibir saya, karena tidak konsisten dalam menghadapi "kisruh" paket data.

Maka, saya punya jawaban yang memang itulah yang saya rasakan, yaitu status saya saat membuka Youtube. Ketika membuka Youtube, status saya seperti ketika menyalakan televisi, yaitu penonton.

Ilustrasi menonton konten di Youtube. Sumber: Pexels/Pixabay
Ilustrasi menonton konten di Youtube. Sumber: Pexels/Pixabay
Meskipun, saya sudah punya kanal dan membuat beberapa konten, serta punya beberapa pelanggan (subscriber)--terima kasih buat mereka yang mau subscribe, tetapi saya masih nyaman sebagai penonton. Dan, tujuan saya memang sebagian besar untuk itu.

Timbal balik yang saya dapatkan juga masih saya anggap lebih untung ketika membuka Youtube sebagai penonton alih-alih sebagai kreator konten. Karena, saya bisa menyetel kualitas video paling kecil untuk memuatnya.

Berbeda dengan ketika saya mengunggah video. Walaupun, saya pernah mengunggah dengan kualitas sangat bawah untuk ukuran sebagai pengunggah, tetap saja data yang diperlukan lebih besar saat mengunggah daripada menonton video.

Artinya, dengan pola pikir demikian dan keadaan yang belum pas sebagai kreator konten di Youtube, maka saya masih fokus sebagai penonton. Saat seperti itulah, saya punya semangat tersendiri, sekaligus belajar untuk tetap di bawah.

Karena, kalau terus berada di media di mana saya juga menjadi kreator, yang saya khawatirkan adalah saya susah untuk menjadi pendengar/penyimak yang baik. Secara umum, orang Indonesia memang sudah bagus bisa menjadi kreator-kreator hebat, alias tidak hanya menjadi penggemar.

Tetapi, semakin banyak orang-orang yang mendadak kreator, terkadang juga bisa menghasilkan kegagapan dan demam panggung. Itu yang berusaha saya tekan, lewat cara menjadi penonton di Youtube.

Ini juga berlaku saat Ramadan. Malah, saat Ramadan, Youtube menjadi penolong saya untuk tetap terjaga sembari menunggu waktu berbuka.

Ketika selepas sore menjelang waktu berbuka, tidak jarang ada hari-hari tertentu yang mungkin bisa disebut nahas, karena pada hari itu sorenya sudah kehabisan tenaga. Daya tahan tubuh yang sudah sangat turun, ternyata malah tidak bagus kalau digunakan untuk tidur.

Karena, saat tidur, bukannya tubuh menghemat tenaga yang dimiliki, tetapi juga membuat rasa lapar semakin tinggi. Ini seperti hukum biologis yang dimiliki Beruang Kutub. Mereka setelah berhibernasi akan sangat galak, karena sangat lapar.

Bahkan, meskipun dia sudah menabung banyak makanan di dalam perut, tetap saja ia akan bangun dengan keadaan lapar dan ganas. Inilah yang sebenarnya juga berlaku dalam tubuh manusia, khususnya seperti yang pernah saya alami suatu hari saat berpuasa.

Saat itu, sekitar pukul 16.00 WIB--waktunya ngabuburit, saya memilih tidur karena saya pikir agar tenaga masih cukup untuk beberapa menit menjelang berbuka. Tetapi, bukannya saya bangun dengan sisa-sisa semangat, malah bangun dalam kondisi yang jauh lebih lelah daripada sebelum tidur.

Itulah mengapa, akhirnya ketika menjelang waktu berbuka, saya lebih memilih membuka Youtube, daripada tidur. Bahkan, tidak masalah kalau saya akhirnya hanya bisa berbaring, yang artinya konten yang saya mainkan akan seperti konten audio, karena hanya saya dengar.

Keberadaan Youtube juga menurut saya masih asyik, karena secara konten masih bisa disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan. Kalau kemudian ada kanal-kanal acak muncul di beranda dan tidak ingin dikepoin, tinggal klik 'Jangan Rekomendasikan Channel'. Beres!

Kalau saya, sekalipun sebenarnya masih pilih-pilih, tapi pada kenyataannya masih banyak orang lain yang lebih pilih-pilih daripada saya. Alasan saya masih mau menonton kanal yang terkadang terlihat acak adalah untuk memperkaya pengetahuan.

Sebagai milenial garis akhir, interaksi ke depan akan dipenuhi oleh generasi Z yang jauh lebih kaya pengetahuannya, karena mereka memang belum pilih-pilih informasi. Itulah kenapa, kalau sewaktu-waktu saya seperti terjebak di lingkaran tak terduga, saya masih bisa berharap tahu minimal 10% tentang lingkaran itu.

Karena, sekalipun gemar menjadi pendengar, saya juga tidak mau menjadi pendengar yang asal menerima saja informasi itu ke dalam kepala. Di dalam kepala harus ada pertemuan antara informasi "on the spot" dengan informasi "before it's happened" yang sudah saya punya.

Ilustrasi generasi Z yang lebih ekspresif dan variatif. Sumber: Pexels/Anna Shvets
Ilustrasi generasi Z yang lebih ekspresif dan variatif. Sumber: Pexels/Anna Shvets
Hal semacam ini saya asah lewat kemauan dan kegemaran saya menjadi penonton di Youtube. Termasuk ketika Ramadan, kebiasaan ini tidak boleh luntur, karena informasi dan pengetahuan tidak mengenal istirahat.

Begitulah, ulasan tentang aplikasi yang saya jalankan saat Ramadan, termasuk yang favorit untuk menemani ngabuburit dan setengah waktu terjaga saya dalam sehari. Mungkin, apa yang saya suka dan anggap penting tidak berlaku bagi pembaca, tetapi saya memaklumi itu.

Terima kasih sudah membaca ulasan sederhana ini, dan salam Ramadan!

Malang, 24 April 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Banyak Tidur Justru Bikin Lemas (Detik.com) dan Tetap Terhubung Agar Tidak Gampang Lemas (Kompas.com).

Tulisan Sebelumnya: Lagu Bernuansa Ramadan Favorit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun