Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Cara Tak Lazim Saling Bermaaf-maafan, Jadi Lebih Seru dan Bermakna

22 Mei 2020   01:06 Diperbarui: 22 Mei 2020   18:55 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara Tak Lazim Saling Bermaaf-maafan, Jadi Lebih Seru dan Bermakna
Acara bermaaf-maafan bisa dimodifikasi dalam berbagai bentuk kegiatan. Selain saling meminta maaf, anak-anak menulis cerita tentang latar belakang dan proses bermaaf-maafan kepada sesama teman. Foto: Dok. Pribadi/ASS

Adakah pengalaman mengharukan yang melebihi momentum saling memaafkan? Pengalaman ini acap kali mengendap dalam dasar nurani, menjadi cahaya yang menerangi ayunan langkah, menyinari cakrawala optimisme menatap masa depan.

Anak-anak telah berkumpul di rumah. Ramai suara mereka berceloteh, menceritakan pengalaman selama menjalani puasa bulan Ramadan. Saya biarkan mereka saling merespons kisah.

Bermaaf-maafan Model 5W+1H+2I
Saya telah merancang acara halal bi halal setelah mendapat inspirasi dari panduan menulis 5W+1H. Tapi itu belum cukup. Saya menambahkan 2I, yakni Imajinasi dan Inspirasi. Jadilah rumus menulis "ala" saya: 5W+1H+2I. Semoga saya bisa menuliskan rumus ini di lain kesempatan.

Bagaimana menerapkan 5W+1H+2I untuk acara maaf-maafan bersama anak-anak yang setiap sore dan malam hari berkumpul di rumah?

Kertas dan alat tulis saya bagikan. Saya meminta anak-anak menulis "What" (apa) kesalahan yang pernah kamu perbuat pada temanmu? Setiap anak menceritakan kesalahan yang pernah dikerjakan kepada satu orang temannya. "Who" (siapa) dia, teman yang pernah kamu salahi?

Lanjut lagi, "When" (kapan) kamu melakukan perbuatan itu? "Why" (mengapa) kamu tega menyalahi kawanmu sendiri?  "Where" (di mana) kamu mengerjakan kesalahan itu? "How" (bagaimana) kamu menebus kesalahan kepada temanmu?

Tahap selanjutnya, "Imajinasi" (membayangkan) apa akibat dari kesalahan yang kamu lakukan itu? Apa "Inspirasi" pelajaran, ilmu, hikmah yang kamu peroleh setelah menyadari kesalahan itu?

Cara berpikir "deschooling" berulang kali saya sampaikan. Saya tekankan kepada anak-anak bahwa semua pertanyaan itu bukan soal ujian. Mereka tidak perlu menjawab layaknya mengerjakan soal di sekolah.

Tidak ada jawaban yang mutlak salah atau mutlak benar. Benar dan salah itu relatif. Parameter, indikator, spektrum dan gradasinya beragam, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat.

Ada benere dhewe (benar menurut diri sendiri), benere wong akeh (benar menurut orang banyak), bener kang sejati (benar yang sejati).

"Bebaskan perasaan dan pikiran dari takut salah secara berlebihan. Silakan menulis dengan sikap yang merdeka. Syaratnya cuma satu: kalian harus jujur!"

Tidak butuh waktu lama bagi anak-anak untuk memahaminya. Sesaat kemudian pena mereka menari-nari di atas kertas, menuangkan cahaya pikiran dan perasaan.

Bagaimana hasilnya? Saya tidak tahu. Sebagaimana saya sendiri juga tidak pernah tahu "takdir" dari huruf, kata, kalimat, paragraf selama proses menulis. Yang bisa kita lakukan adalah merancang "takdir" tulisan.

Sedangkan takdir yang sebenarnya dari tulisan tersebut akan mengalami dinamika dan dialektika tanpa seorang pun sanggup menghentikannya kecuali Tuhan Sang Pemilik Takdir.

Menulis tak ubahnya mengarungi keabadian!

"Jadi, menulislah secara jujur dan autentik!"

Inilah wacana pengalaman di balik pengalaman yang tengah ditempuh anak-anak melalui menulis cerita di atas. Tulisan hasil karya anak-anak bukan sekadar kumpulan kata, kalimat dan paragraf. Di sana kita menemukan konteks yang berwarna-warni.

Bahkan kita bisa melakukan analisis wacana untuk menyingkap konteks psikologis, sosiologis, karakter, isi pesan, motivasi. Selain menjadi dokumen keabadian, tulisan anak-anak merupakan gudang ilmu, minimal bagi saya dan anak-anak, hingga beberapa tahun berikutnya tulisan itu menjadi penggalan potret diri.

Sedemikian pentingkah menulis secara jujur dan autentik? Tentu saja kejujuran dan sikap autentik merupakan fondasi yang musti terus dibangun. Apalagi konteks tulisan anak-anak terkait dengan tema meminta maaf.

Bukankah meminta maaf juga harus didasari sikap yang jujur dan autentik?

Menemani Anak Berpikir Imajinatif-Asosiatif
Selalu ada "What" di balik What. Fakta yang hendak diungkap oleh What tidak selalu tampak sebagai "What". Ia bisa bersembunyi di balik What---bahkan persembunyian itu tersusun dari banyak sekali lapisan, spektrum, gradasi, dan tingkatan. Kita menggali, menyelami, merasakan, menghayati "What" di balik What secara jujur dan autentik.    

Kalau "What" itu diganti dengan fakta "Saya meminta maaf", maka di balik ucapan atau tulisan itu perlu ditemukan ada "What" apa saja di sana. 

Kalau tidak berbekal kejujuran dan sikap autentik, bekal apa lagi yang bisa kita bawa saat menyelami samudra dalam diri?

Dan mari kita mencermati tulisan anak-anak yang polos itu. Mereka bahkan menulis satu kesalahan "kecil" yang pernah dikerjakan kepada temannya. Mengapa kata "kecil" memakai tanda kutip akan saya sampaikan nanti.

Sholah, misalnya, ia pernah menyembunyikan sandal milik Lihan. Yang menarik manakala Sholah menjelaskan "Why" (mengapa) ia melakukan hal itu. Iseng saja, tulisnya. Ia sekadar main-main alias tidak berniat mencelakakan apalagi ingin mencuri sandal Lihan.

"How" (bagaimana) Sholah mengakui kesalahannya? Ketika Lihan mencari sandalnya, Sholah mengaku tidak tahu di mana sandal itu.

Ini sungguh menarik. Sholah menulis secara jujur tentang ketidakjujurannya waktu itu. Hingga Lihan berhasil menemukan sandalnya, Sholah tetap tidak mengaku. Ketidakjujuran itu akhirnya diungkapkan melalu cerita yang ditulisnya.

"Imajinasi" Sholah juga menulis, seandainya sandal itu tidak ketemu, Lihan pasti dimarahi ibunya. Lihan akan merasa sedih. Ia tidak mau berangkat mengaji. Ia jadi anak bodoh.

Mari kita hitung ada berapa "langkah imajinasi" di sana? Sandal tidak ketemu menerbitkan imajinasi: ibu marah, sedih, tidak mau mengaji, dan bodoh.

Apakah berpikir imajinatif-asosiatif itu akan berhenti pada Lihan jadi anak bodoh? Tidak. Anak-anak bisa melanjutkan "langkah imajinasi"-nya, sebebas apapun, hingga tiada batas akhir.

Dari sekadar perbuatan sepele menyembunyikan sandal, anak-anak terbimbing secara imajinatif-asosiatif untuk menghitung akibat dari perbuatannya. Kesalahan "kecil" ternyata tidak kecil karena bisa mengakibatkan kerugian yang "besar".

Demikian pula perbuatan baik yang terlihat "kecil" sesungguhnya mengandung manfaat yang bernilai "besar".

Nah, karena ini konteksnya adalah menulis untuk meminta maaf, maka sesuai kesepakatan Sholah membaca tulisan hasil karyanya di hadapan Lihan. Setelah itu ia meminta maaf secara lisan kepada Lihan sambil menuturkan kesalahan itu.

"Lihan, aku meminta maaf karena pernah menyembunyikan sandalmu," ucap Sholah.

"Sama-sama, Mas Sholah," balas Lihan.

Pembacaan tulisan dan permohonan maaf kepada sesama teman menjadi sesi yang seru. Ada anak yang malu-malu membacakan tulisannya. Bahasa mereka lucu-lucu. Ekspresinya polos-polos. Gelak tawa pun pecah. Wajah mereka berbinar bahagia.

Anak-anak menikmati acara maaf-maafan secara merdeka, jujur dan autentik.[]
Jagalan, 220520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun