Empat bulan di NTT pada tahun 2017 lalu mengajarkanku betapa penting makna solidaritas dan toleransi. Jika di Jakarta, aku bisa menjadi golongan mayoritas. Sampai di sana, aku hanya minoritas karena penduduk yang beragama Islam tak begitu banyak.
Lantas, apa aku merasa dikucilkan atau tersisih selama di sana? Tentu tidak. Justru aku menemukan keluarga baru yang senantiasa mengajari rasa syukur supaya bisa mencapai kebahagiaan hidup hakiki. Suasana desa yang masih alami, jalan yang bebas hambatan, dan warga desa yang ramah begitu layak untuk dikenang sampai saat ini.
Hal yang paling aku ingat yaitu saat aku harus salat Jum'at. Salah seorang warga Katolik mengantarku ke masjid karena lokasi masjid yang ada di Atambua bisa terhitung dengan jari. Setiap pelaksanaan salat Jum'at, jalanan pun ditutup. Semua itu dilakukan untuk menghormati umat Islam yang sedang beribadah.
Rasa setia kawan dan suasana toleransi yang aku alami juga dirasakan sebelumnya oleh seorang sarjana yang baru lulus bernama, Aisyah (Laudya Cynthia Bella). Awalnya, Ia tinggal bersama  ibu Ratna (Lydia Kandou) dan adik laki-lakinya, Tisna (Surya Sahetapy)  di sebuah kampung kecil yang ada di Ciwidey, Jawa Barat. Kampung yang hijau di area perkebunan teh tersebut begitu sejuk dan sarat nilai religius.
Ia mulai mengabdikan dirinya sebagai guru. Ia mendaftar ke sebuah yayasan yang mengatur sarjana untuk bekerja sebagai pendidik di seluruh pelosok Indonesia.
Suatu hari, Ia mendapat telepon dari yayasan tempat Ia mendaftarkan diri. Ia ditempatkan pada lokasi yang tak pernah Ia ketahui sebelumnya yaitu Dusun Derok, Kabupaten Timur Tengah Utara. Penempatan ini sempat tak direstui oleh ibunya, namun Aisyah berniat untuk tetap berangkat ke NTT.
Awal kedatangan Aisyah di NTT, Ia merasa asing. Ia malah dianggap sebagai Suster Maria karena sama-sama memakai kerudung. Masyarakat di sana mengharapkan Suster Maria yang menjadi guru sehingga kesalahpahaman mulai terjadi. Aisyah merasa gamang.
Perlahan tapi pasti, Aisyah coba beradaptasi di desa terpencil tanpa listrik dan sinyal seluler. Musim kemarau yang panjang, air pun susah didapat. Lingkungan terasa baru dan tradisi serba asing karena perbedaan agama yang mencolok. Hingga Aisyah bertemu Pedro (Arie Keriting) yang bantu atasi persoalannya.
Saat menjadi guru, Aisyah juga dibenci oleh murid yang bernama Lordis Defam (Agung Isya Almasie Benu). Lordis mendapat doktrin dari pamannya yang pernah terlibat dalam Konflik Ambon. Murid itu juga mempengaruhi teman-teman sekelasnya agar tak masuk sekolah. Belakangan semua menganggap kedatangan Aisyah sebagai musuh bersama karena mereka mayoritas beragama katolik dan orang Islam yang datang ke tempat mereka hanya ingin membakar gereja.
Aisyah berupaya mendekati anak-anak dengan lembut. Ia tak hanya mengajari anak-anak melalui ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang budi pekerti dengan rasa senasib sepenanggungan dan makna hidup bertoleransi.
Film Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara sangat cocok ditonton saat bulan pendidikan seperti sekarang yang bertepatan dengan bulan Ramadan dalam sistem penanggalan Islam. Film yang disutradarai oleh Herwin Novianto ini tak hanya memberi edukasi akan solidaritas guru dan muridnya, tetapi juga solidaritas antar umat beragama. Film berhasil membawa misi toleransi supaya kita mengenal keanekaragaman dari sisi Indonesia bagian timur.