Mukhotib MD
Mukhotib MD Penulis

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Kliwon, Episode Kepancal Takjil

17 Mei 2018   11:20 Diperbarui: 17 Mei 2018   11:44 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kliwon, Episode Kepancal Takjil
Sumber Foto: Antara News

Waktu menunjukkan pukul 17.15 WIB. Wilayah Kota Magelang, sebentar lagi memasuki saatnya berbuka puasa. Si Pon sudah bersiap mengayuh sepeda onthelnya menuju ke Masjid Agung Kauman, Kota Magelang. Seperti biasanya, ia mengincar kolak pisang dengan campuran buah kolang-kaling. Santannya kenral dengan warna coklat tua karena menggunakan pemanis gula merah, dan tercium wangi daun pandan. Makanan pembuka paling favorit yang tak selalu ada di rumahnya menjelang Maghrib.

"Nggak usah ikut," kata Si Pon ketika adiknya ngotot mau ikut. Ia membayangkan adiknya akan terlalu lelah jika bersepeda sejauh 1000 meter. Apalagi harus melalui jalan raya Semarang-Yogyakarta yang sangat ramai. Adiknya cemberut. Sepeda onthelnya dibiarkan roboh, dan dia sendiri duduk jongkok melipat tubuh.

Si Pon yakin benar, Romo pasti akan memarahinya manakala tahu adiknya menangis karena nggak boleh ikut dengannya. Ini bukan untuk yang pertama kali peristiwa tak boleh ikut, dan berbuah tak ada yang boleh berangkat. Kolak pisang dengan buah kolang-kaling dan beraroma daun pandan melintas-lintas dalam benaknya. Semakin lama mengambil keputusan, akan menjadi semakin sedikit waktu yang tersedia untuk sampai ke Masjid Agung Kauman.

Sebelum Romo tahu, ia sudah mengambil keputusan membiarkan adiknya turut. Adiknya tersenyum lebar, bangkit dari jongkok dan menegakkan sepedanya. Ia malah mengayuh lebih dahulu ketimbang kakaknya.

Belum lagi berjalan lebih dari 200 meter, rantai sepeda si Wage lepas. Sepeda itu berhenti paksa, karena rantai yang menjadi kendor itu menyelip masuk kedalam sela-sela pelek roda. Si Pon menarik rem tangan belakang dan depan secara bersamaan. Ia menuntun mundur sepedanya, dan menurunkan standard. Dengan susah payah, si Pon membantu adiknya membenarkan rantai yang lepas. Tangan kanannya terkena gemuk, berwarna hitam kecoklatan.

Kolak pisang dengan buah kolang-kaling dan beraroma daun pandan melintas-lintas dalam benaknya.

Selesai, dengan tangan yang kotor itu, Si Pon kembali mengayuh sepedanya, diikuti adiknya, yang terlihat ragu-ragu mengayuh pedal sepeda itu. Mungkin khawatir terlepas lagi, dan ia tak ingin merepotkan kakaknya.

"Kakak, tunggu," Si Wage berteriak kembali, setelah berjalan hampir 300 meter jaraknya. Si Pon menghentikan kayuhannya, dan menengok ke arah adiknya, "ada apa lagi," katanya.

"Ban depannya kempes, Kak."

Si Pon kembali menuntun sepedanya mundur. Lalu melepaskan pandang ke kanan dan ke kiri mencari tukang tambal ban. Warna merah jingga semakin tebal menyepuh langit. Waktu maghrib sudah benar-benar hampir tiba. Si Pon menitipkan sepeda adiknya di rumah pinggir jalan, entah rumah siapa. Tak mungkin lagi mencari tukang tambal ban, kalau dapat, tak akan bisa lagi mendapatkan taljil favoritnya. Kolak pisang dengan buah kolang-kaling dan beraroma daun pandan melintas-lintas dalam benaknya.

Si Pon mengayuh sepedanya dengan cepat, adiknya berdiri di atas as roda belakang yang sudah ditambahi dengan step, sehingga menonjol panjang keluar. Si Pon merasa kakinya mulai pegal. Menari Masjid Agung sudah terlihat, tetapi nafasnya sudah mulai tersengal. Adiknya pun sudah beberapa kali mengeluh kakinya terasa sakit, dan sandalnya sesekali berbunyi 'breeettt' karena menyentuh ruji ban belakang.

Suara adzan, dari Masjid Agung sudah terdengar. Tetapi nafas Si Pon seperti sudah habis. Rasa haus yang teramat sangat menyerangnya. Tenggorokannya terasa kering. Si Wage menawarkan diri untuk mengayuh sepeda dan kakanya diminta berdiri di belakang. Tentu saja si Pon menolak. Ketika nafas sudah mulai tak memburu lagi, orang-orang di sepanjang jalan sudah mulai menikmati buka puasa yang di pesan di  rumah makan sepanjang jalan A. Yani Magelang, dan juga di warung-warung tenda.

Kolak pisang dengan buah kolang-kaling dan beraroma daun pandan melintas-lintas dalam benaknya.

Ketika, mereka sampai di depan gerbang Masjid Agung, Si Pon melihat petugas Masjid sedang memberesi piring-piring bekas untuk menyajikan takjil kolak favoritnya, dan gelas-gelas untuk minum, dan suara iqomah sudah dikumandangkan, para jamaah sudah bersiap salat. Si Pon menarik mundur sepedanya, dan meminta adiknya segera naik ke belakang sepeda, dan berkata, "kita langsung pulang, Dik?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun