Bai Ruindra
Bai Ruindra Guru

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Rantang Wajib Isi 5 Tingkat untuk Mertua di 17 Puasa

19 Mei 2018   09:19 Diperbarui: 19 Mei 2018   10:33 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rantang Wajib Isi 5 Tingkat untuk Mertua di 17 Puasa
Ilustrasi - rumah.com

Tergopoh dan tersandung kerikil di halaman yang tidak begitu luas, wanita itu tetap saja mengupas kelapa untuk diparut. Ia tak terburu waktu jika tidak memburu. Ia akan ditinggal waktu jika belum usai menanak nasi. Ia tak akan dipercaya lagi jika belum menuangkan kuah gulai asam pedas ke dalam rantang tingkat dua. Ia belumlah sempurna sebelum pisang goreng disusun di rantang tingkat dua paling atas. Namun, kali ini ia tidak memasak gulai asam pedas karena ikan itu akan digoreng saja.

Suara ayam bersahutan saat ia mengusirnya. Ayam-ayam itu mungkin membenci juga menghujat dalam hati. Ia tidak memedulikan suara, ia telah hilang aroma untuk dicium, ia telah sekian waktu mengejar seekor ayam yang telah dipotong tadi siang. Ayam itu nanti akan dimasak santan saja, biar rasa lebih enak dan juga cepat dirinya bekerja dibandingkan digoreng yang bisa memakan dua kali masak untuk ayam dan cabai lado.

"Aminah! Kau lihatlah si Agam menangis terus," Aminah, namanya, tak menyeru hanya berlari ke dalam rumah petak ke ayunan anaknya. Teuku Ampon duduk bersila merajut jaring ikan, tak berkutik dirinya saat Agam meraung-raung. Anak belum genap sebulan setengah itu mana tahu hari itu sangat panas.

Sebentar, Aminah menyusu Agam. Teuku Ampon sedikit pun tidak berpaling kepada istrinya. "Bang, tengoklah keluar, ayam-ayam itu akan mematut kelapa yang baru saja kubelah,"

Teuku Ampon melirik sekilas dari jendela, "Tak ada,"

Agam kembali terlelap setelah dininabobokan ibunya. Kembali ia ditempatkan dalam ayunan dan sedikit bergerak karena gusar tidurnya. Aminah menatih dalam doa dan Agam kembali tertidur dengan raut wajah tersenyum.

"Kau masak yang enak itu ayam, jangan asin dan pedas ibuku tak suka!" pinta Teuku Ampon tanpa memaling ke Aminah yang melewatinya.

"Hussshhh" Aminah mengusir ayam yang sedang mematut kelapa. Hampir habis sebelah kelapa itu dimakan ayam, sudah ia bilang ke Teuku Ampon untuk melihatnya tetapi jaring ikan itu lebih penting daripada kelapa ini. "Ikan pun ku beli barusan," keluh Aminah dengan menahan sesak di dada.

Aminah bergegas ke dapur, memarut kelapa setelah itu diperas santannya. Ayam yang telah dicopot bulu-bulu sampai ke siku, ia potong-potong sesuai perkiraan. Paha sudah pas dipotong dua dengan ukuran sebenarnya, tidak besar dan tidak kecil. Dada di potong dua. Kulit ia potong kecil-kecil. Tangannya dengan cepat berpindah ke bumbu; bawang, cabai, lada, halia dan lain-lain, dengan cepat pula ia kupas dan haluskan.

Ayam dicampur bumbu, dituang air sedikit, dipanaskan dengan api sedang. Ia memeras santai. Sayur-mayur mungkin ia tumis saja biar lebih cepat. Sisir pisang menjadi perhatiannya, ia potong-potong seperti kipas dengan belahan tiga.

"Aminah! Si Agam sudah bangun ini," teriak Teuku Ampon dengan kencang.

"Tak bisakah abang tengok sebentar?" suara Aminah tak kalah kerasnya.

"Mana tahu aku, tangisnya kencang sekali,"

Aminah mendesah. Ia berlari ke suara tangis. Mata Agam sudah sembab. Teuku Ampon tak berpindah sedikit pun dari dirinya duduk. Jaring-jaring ikan yang ia rajut juga tidak lebih besar dari dua telapak tangan jika digabung.

Dengan sigap, Aminah menggendong Agam lalu kembali ke dapur. Kesal pun ia tak ingin disampaikan. Emosi yang meluap menjadi lebih ngilu daripada perih di jari manisnya yang tergores pisau.

"Sudahlah ayam ini hampir gosong," ia membuang kesal ke gulai ayam di atas api. Kompor gas itu tak lebih bersahabat dibanding Teuku Ampon. Ia tuangkan santan lalu mengaduknya. Ia lanjut memotong pisang, rengekan Agam dalam gendongannya menjadi irama paling syahdu menjelang sore itu.

Ayam dimasak santan telah matang. Pisang ia goreng sepotong-sepotong. Agam menangis tak keruan, mungkin karena hawa panas dari kompos gas.

"Aminah! Kau diamkan si Agam itu,"

"Abang ambillah dia sebentar,"

"Mana sempat aku!"

Agam terus menangis kencang. Waktu tak hanya memburu tetapi seolah benar-benar meninggalkannya. Pisang goreng hampir hangus. Sayur-mayur yang ditumis hampir gosong. Gulai ayam yang ia letakkan di atas lantai hampir dicicipi oleh kucing rumah yang manja. Ikan hampir saja lupa ia goreng. Ia belum mengambil rantang yang mungkin harus dicuci terlebih dahulu.

Semangka belum ia parut. Aminah membelah semangka yang rupanya tidak merah merekah. Ia parut dengan sendok ke dalam tempat yang lebih besar. Semangka dicampur gula dan sirup agar manis dan lebih merah.

"Abang ambilkan rantang di lemari depan itu!"

"Mana tahu aku simpanan kau!"

Teuku Ampon tak mau berkutik saat Aminah membuka lemari di depan matanya, lalu mengeluarkan rantang 5 tingkat. Tingkat satu nasi, lalu berurutan ayam, tumis sayur, ikan goreng dan pisang goreng. Air semangka parut nanti ia masukkan ke dalam ceret warna kemasan.

Pukul enam lewat lima detik. Tangis Agam kembali saat Aminah selesai memasukkan semua menu berbuka ke dalam rantang. Teuku Ampon telah bersih dan wangi.

"Ambillah Agam sebentar," ujar Aminah. Kali ini Teuku Ampon menurut. Aminah bersiap diri untuk ke rumah mertua. Buka puasa di sana hari ini. Ini tahun kedua yang repot. Namun, tak ada permisi untuknya menoleh ke Agam yang masih dalam gendongan.

Senja begitu tiba-tiba. Rantang telah di tangan Aminah. Agam dalam gendongan. Teuku Ampon berjalan lebih cepat lima langkah di depannya. Rumah orang tua Teuku Ampon berjarak hanya beberapa meter di depan, jika Aminah membuka jendela menghadap ke barat, maka ia langsung dapat melihat rumah mertuanya dibalik daun-daun tebu.

Teuku Ampon sesekali bersapa dengan orang yang lewat. Ia berujar hari ini buka puasa di rumah ibunya. Tak bisa dielak, orang-orang yang lewat juga menyapa Agam yang mungkin terlelap, mungkin juga hanya pura-pura memejamkan mata.

Bahu Aminah terasa pegal. Rantang di sebelah kanannya hampir jatuh. Ceret di sebelah kiri tak ada kurangnya. Pintu rumah mertuanya telah terlihat. Di bawah matahari menyingsing dari balik daun kelapa yang tinggi, bayangan apa saja terlihat dengan mudah.

Beduk ditabuh. Tanda buka puasa hari itu. Agam merengek dalam gendongan. Ibu mertua sibuk ke dapur, ke ruang makan, Aminah tak bisa berkutik saat rantangnya dibuka. Rantang kakak ipar lebih berwarna dan lebih lezat. Rantang adik ipar membawa aroma yang tak kalah mengurungkan nyali untuk bersuara.

"Aminah, kau sinikan si Agam," ujar Ibu mertua. "Kau repot sekali masak banyak-banyak, tak ada pun datang saja,"

Agam berpindah tangan. Aminah meneguk air semangka parut miliknya, terasa sedikit hambar. Pisang goreng ia makan sepotong, sedikit asin. Ia menelan ludah. Tak berani mencicipi kue dari rantang adik ipar dengan warna merah jambu. Ia tak juga menyentuh agar-agar di rantang kakak ipar yang dimasukkan ke dalam wadah berbentuk bintang.

Sekejap, Aminah ingin berlari pulang. Ia ingin memasak menu yang lebih lezat jika memungkinkan. Tatapan mata Teuku Ampon yang memprotes masakannya tak bisa dielak. Ia mencoba tersenyum tetapi sangat garing. Ia mencoba merapikan kerudung tetapi tak ada yang salah dengannya.

Aminah tertunduk. Suara azan bertalu-talu dari masjid ke masjid di sekitarnya!

***

*Terinspirasi dari kisah kehidupan di Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun