Munir Sara
Munir Sara Administrasi

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Unek-unek Menteri dan THR Produktif

30 April 2021   13:55 Diperbarui: 30 April 2021   14:25 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unek-unek Menteri dan THR Produktif
Ilustrasi (sumber : www.kompas.com)

Christine Lagarde (IMF), Steven Tabor (ADB) hingga Perry Warjiyo (BI), sama-sama taksasi, menurunkan target pertumbuhan ekonomi RI tahun 2021. Vaksinasi dan faktor external masih menjadi analisis risiko pertumbuhan ekonomi.

Misalnya, bilamana bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga kebijakan AS karena laju inflasi AS, itu juga soal. Kenapa? Ya capital inflow akan mampet. Ingat ya, kontribusi pasar modal terhadap PDB nasional sekitar 40-50% (IDX 2020).

ADB misal, turunkan target pertumbuhan ekonomi 4,5% dari sebelumnya yang dia taksasi sendiri---5,3% di tahun 2021. Itupun 4,5% ini bisa terkoreksi lagi, bila varian baru Covid-19 di India berdampak luas ke Indonesia.

Saya ingat kata politisi PAN di Senayan, bang Jon Erizal MBA, dalam keadaan normal saja, pertumbuhan ekonomi RI sulit terkerek. Berat minta ampun. Apalagi dalam keadaan kecele begini? Berat sungguh berat.

Untuk ekonomi tumbuh 1% saja, butuh engine of growth yang mumpuni. Butuh mesin pertumbuhan dengan double atau triple effect. Butuh utang bejibun. Utang baru lagi. Rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Sekarang di posisi 41% of GDP.

Karena porsi pertumbuhan didominasi konsumsi, sehingga government expenditure harus extra. Sementara pendapatan seret. Tax ratio mangkrak. Otomatis defisit butuh pembiayaan = utang. Itu fakta yang tak bisa dielak.

Salah satu pahlawan ekonomi kita adalah konsumsi masyarakat. Ini yang lagi-lagi selalu menjadi fortress ekonomi kita. Oleh sebab itu, daya beli dan inflasi dijaga sedemikian rupa oleh BI dan pemerintah.

Kalau bulan Agustus nanti, bila presiden memberi bintang jasa, berikanlah pada seluruh rakyat Indonesia. Terutama kepada kelompok masyarakat yang doyan shopping.

Sri Mulyani, baru saja tumpahkan unek-unek di media (30/4). Bahwa niat di balik cairnya THR yang digilir ke seluruh ASN dan karyawan swasta, diharapkannya bisa dorong konsumsi rumah tangga (RT).

Karena konsumsi RT merupakan prime mover pertumbuhan ekonomi yang mumpuni di tengah pandemi. Pilar penting GDP nasional; menurut pengeluaran. Itupun tidak gampang. Distimulasi sana sini dengan BLT.

Pasal itu yang yang membikin bu Sri keukeuh, bahwa "meski tak jadi mudik, shopping dulu baru lebaran." Perkara setelah shopping habis-habisan karyawan kecil atau buruh makan apa? Apa urusannya?

***

Dus, dua bulan setelah lebaran (Juli/2021), masuk tahun ajaran baru. Bagi ASN, tantu ada gaji 13. Konsumsi RT untuk pendidikan dari sisi ASN, akan menjadi salah satu pilar pertumbuhan konsumsi RT.

Lain ASN lain pula karyawan swasta. Di momen tahun ajaran baru, benar-benar tergencet oleh kebutuhan konsumsi untuk pendidikan, disaat yang sama, daya beli (purchasing power) belum benar-benar sembuh.

Dari data BPS mutakhir 2021, dari 90 kota, ada 32 kota yang masih deflasi. Ini merefleksikan daya beli yang masih sakit. Terutama di sektor buruh. Upah riil buruh turun 0,06% dari Rp.85.750 pada Februari 2021.

Inflasi tertinggi di Papua dari kelompok makanan dan minuman. Ini pun karena rantai supply yang tersumbat karena faktor geografis. Deflasi dan grafik upah riil buruh yang lambat, menggambarkan daya beli yang belum pulih.

Upah riil menggambarkan perbandingan upah nominal terhadap indeks harga konsumen (IHK) perkotaan. Dengan upah riil yang terkoreksi, dan belum benar-benar pulih, maka memasuki tahun ajaran baru, akan benar-benar tergencet dengan kebutuhan pengeluaran pendidikan yang tinggi untuk anak-anak mereka.

Oleh sebab itu, anjuran shopping masal di hari belanja nasional, disatu sisi berfaedah bagi reputasi pemerintah---untuk pertumbuhan ekonomi di atas kertas. Namun celaka bagi buruh dengan upah riil yang mangkrak.

Alangkah baiknya, pemerintah juga mengajarkan rakyat saving money. Simpan THR-nya, untuk kebutuhan-kebutuhan yang kapepet. Demikian juga untuk kebutuhan produktif.

Apalagi di tengah kondisi keuangan rakyat yang seret begini. Jangan sampai shopping sehari mengalahkan investasi jangka panjang---untuk pendidikan anak cucu. Karena pengeluaran untuk pendidikan, lebih penting ketimbang menguap di hari lebaran saja.

Pemerintah semestinya mengajari rakyat terkait THR produktif. Misalnya, saving THR untuk modal usaha rumahan. Jadi impeknya lebih sustain. Ketimbang dihabisi untuk hal-hal yang konsumtif semata.

Saya pernah dengan kelakar kepala BPS. Rata-rata rakyat kecil punya masalah family size. Pendapatan kecil anak bejibun. Kalau THR 1x upah UMR dipakai untuk shopping lima kepala saja, berapa yang mesti di belanjakan dan berapa pula yang mesti di saving untuk keperluan produktif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun