YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Guru

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

TRADISI Pilihan

Surat untuk Kampung Halaman Tercinta

30 April 2023   20:18 Diperbarui: 30 April 2023   20:22 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat untuk Kampung Halaman Tercinta
Foto by Yusriana

Samber THR, Samber 2023, H-30. Kepada yang tercinta kampung halamanku nun jauh di ujung Sumbar. Surat untukmu, kampungku.

Kampung halamanku, aku tahu kamu masih seperti dulu. Setia menanti kami anak-anakmu berlari ke pangkuan sungai Batang Sontangmu. Mengalir jernih dan tetap segar sebagai tradisi pagi dan sore hari.

Kampung halamanku, sudah 47 tahun aku memijakmu dan menjujung langit birumu. Masih kuingat setiap hari aku menapakimu ke sawah mengantar nasi dan perbukaan Ayah dan Bunda juga para teman marsalapari mereka.

Kekebun bersama nenek dan bou. Memetik kopi dan sesekali memetik cabai rawit nan pedas. Ketika musim jengkol, petai, langsat, dan durian, kau juga kami kepung para cucu dan beratnya beban tak seimbang dengan tubuh kecil kami. Tapi kala itu belum ada motor apalagi mobil. Malah bertelanjang kaki agar hemat sendal.

Memang orang miskin bodoh. Masak lebih sayang pada sendal daripada tapak kaki sendiri. Ya, begitulah dulu karena sendal mahal dan uang pengganti sendal harus direpeti dengan nasihat hemat sendal.

Kampung halamanku, 6 tahun lamanya aku bersekolah di SD-mu. Banyak suka dan duka di sekolah itu. Entah aku yang sombong entah mereka yang tak memahamiku. Pernah suatu kali semua temanku di sekolah itu memusuhiku.

Guruku pun tak tahu atau pura-pura tak tahu. Mungkin karena aku memiliki sikap cueks, mereka mengira aku sok. Padahal aku juga manusia biasa butuh teman dan perhatian. Meski mereka memusuhiku, aku tetap rajin ke sekolah. Aku juga betah di sekolah.

Kampung, Allah itu maha pengasih. Meski aku tak punya teman sebaya lagi di sekolah kala itu tak apa. Aku dapat surprise dari dinas pendidikan. Mereka datang mengantar beratus buku bacaan ke sekolah.

Akupun hanyut membaca. Semua buku aku baca. Maaf bila aku justeru senang dimusuhi karena aku bebas membaca tanpa harus mengikuti ajakan kawan ke sana ke mari. Indah sekali membaca buku-buku itu. Dongeng dari berbagai daerah.

Kelak aku akan mengunjungi daerah itu satu persatu secara gratis. Akan ada yang membawaku menemui mereka seperti aku menemuimu setiap tahun, kampung.

Perlahan teman-temanku satu persatu kembali menyapa. Kecuali yang memang jadi provokator. Beberapa dari mereka marah karena aku tak mau berbagi tugas ternyata. Sebetulnya, aku mau berbagi, tapi takut salah. Bila ingat itu, wajar sih mereka marah. Aku memang enggan berbagi PR.

Ya, ketika sudah menjadi gurupun aku masih saja menemukan orang seperti mereka. Di sekolah tempat aku mengajar pun anak pintar dikucilkan. Alasan mereka tak solider. Duh, masak bermaksiat solider sih.

Tapi maaf kampungku, tahun ini tradisi mudik tak terlaksana. Aku sibuk, kampung. Ini salahku 10 tahun lalu. Aku tak pernah menyiapkan diriku buat naik pangkat. Tapi tradisi naik pangkat bagi ASN, kuyakini harus dilaksanakan. Entah apa sebabnya.

Akhirnya tradisi pulang terpaksa ditunda. Aku yakin dan percaya, kamu tetap setia menungguku. Sudah menelpon adik-adikku. Kak, si Parwito maligi namenek. Katanya. Kak si Parwito melihat anaknya. 

Parwito salah satu adik sepupuku. Ia baru menikah. Sudah punya anak perempuan. Boru Panggoaran namanya. Artinya putru atau putra tertua setiap cucu ada tradisi di kampung kami untuk dilihat bersama. Biasanya kaum ibu membawa kain panjang. Bapak-bapak tak membawa.

Tradisi ini bernama Tradisi Manjagit Paroppa Sadun. Tradisi Menerima Ulos Batak. Dari keluarga perempuan kepada cucu pertama dari anak atau putri mereka. Paroppa sadun diyakini nenek moyang kita sebagai penguat 'tondi.' Tondi itu agak mirip-mirip ke ruh atau semangat gitu.

Bila anak tak menerima paroppa sadun katanya bakal nakal atau sakit-sakitan. Entahlah. Hikmah tradisi menerima paroppa sadun itu saya lihat hanyalah penunjukan status. Ya, status kaya dan miskin. Keluarga kurang mampu bagaimana mau membeli paroppa sadun. Buat makan saja susah.

Dokpri
Dokpri

Kampungku sayang, setelah Ayah dan Bunda berpulang, tahun lalu adik perempuanku juga menjemput paroppa sadun. Kalau tak salah harganya 600 ribu. Ini yang paling murah ya.

Ternyata tahun ini adikku Parwito juga ingin menjemput paroppa sadun ke rumah mertuanya. Mereka tinggal di Bekasi. Tahun ini mudik. Sebetulnya, aku sudah bertemu mereka di Bekasi ketika mengantar si sulung ke Depok.

Kami mengunjungi semua adik-adikku yang ada di Bekasi. Alhamdulillah usaha mereka lancar. Semoga lancar selalu sehingga mudah bersedekah, menyantuni orang tua, berinfaq, berqurban, dan naik haji.

Tetap setia kampung halamanku. Nantikan aku bila sudah usai tugasku. Aku akan datang kepadamu.

Tradisi Mengayun Anak : Dokpri
Tradisi Mengayun Anak : Dokpri

Surat untuk kampung halaman tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun