Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Wiraswasta

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Dapatkah Majar Disebut sebagai Tradisi Ramadan ala Masyarakat Palembang?

9 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 9 Mei 2019   10:58 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dapatkah Majar Disebut sebagai Tradisi Ramadan ala Masyarakat Palembang?
Source image www.thenational.ae

Sebagai sebuah negara yang besar, wajar jika kemudian banyak tradisi atau kebiasaan masyarakat yang dapat kita jumpai, termasuk saat (menyambut) Ramadan. Tradisi ini biasanya terbagi menjadi dua, yakni dilakukan untuk menyambut Ramadan. Sisanya, dilakukan saat ibadah puasa Ramadan tengah dilakukan.

Untuk tradisi menyambut Ramadan, di Minangkabau misalnya, ada tradisi yang dinamakan Malamang yakni kebiasaan masyarakat untuk membuat Lamang, makanan berbahan dasar beras ketan. Di Betawi, tradisi serupa juga ada. Disebutnya Nyorog di mana masyarakat memasak dan membagikan makanan kepada orang tua atau tetangga dekat.

Di Aceh ada tradisi yang disebut Meugang yakni saat di mana masyarakat menyembelih kambing atau kerbau yang sudah ada sejak tahun 1400-an. Tradisi lain yang dilakukan masyarakat sebelum menyambut Ramadan biasanya berziarah ke makam, seperti yang dilakukan masyarakat Banyumas yang dikenal dengan nama Perlon Unggahan atau tradisi di Jawa untuk membersihkan makam yang disebut Nyadran.

Dari Sedekah Ruwah, Pembagian Bubur Suro Hingga Pawai Obor

Di Palembang juga ada tradisi masak dan membagikan makanan. Hal ini masih umum dilakukan termasuk oleh keluarga saya. Kami menyebutnya dengan nama Sedekah Ruwah, yakni acara mengundang para tetangga, membacakan yasin dan ditutup dengan makan bersama. Jika Sedekah Ruwah terasa merepotkan, bisa juga dengan membelikan makanan dan mengantarkannya ke pondok pesantren.

Saya punya sepupu yang mengelola sebuah pesantren di sekitaran Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Setahu saya, ada satu tradisi yang dilakukan oleh anak-anak pesantren saat menyambut Ramadan, yakni pawai obor. Walau sekarang sudah tidak dilakukan, atau, masih dilakukan oleh pesantren-pesantren lain namun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih kecil.

Masjid Al Mahmudiyah. Source image gpswisataindonesia.info
Masjid Al Mahmudiyah. Source image gpswisataindonesia.info

Dari tadi pembahasannya tradisi saat menyambut Ramadan mulu ya? Hehe. Nah, ini dia tradisi yang tetap dilakukan begitu masuk bulan Ramadan. Tradisi yang berlangsung di Masjid Al Mahmudiyah Palembang ini disebut dengan tradisi Bubur Suro. Di mana, pengelola masjid akan memasak bubur dan dibagikan ke masyarakat sekitar.

Masjid yang berdiri sejak tahun 1834 dan berlokasi di Kecamatan Ilir Barat I Palembang ini tergolong unik. Setiap harinya, pengelola memasak sedikitnya 5 kg beras dan 1 kg daging sapi untuk membuat Bubur Suro ini. Gak tanggung-tanggung, satu kali proses pemasakan butuh waktu 4 jam, loh! Selain memang dibagikan secara gratis, tradisi ini tetap semarak karena memang unik dan harapan saya tradisi ini dapat terus dilestarikan.

Mengenal "Tradisi" Majar

"Kenapa ini kata tradisinya dipakai tanda petik, sih?"

Hehe, ya. Saya harus pakai tanda petik karena sebetulnya Majar ini bukanlah bagian dari tradisi yang boleh dibilang positif. "Tradisi" Majar ini malah cenderung negatif dan useless walaupun secara jujur harus saya katakan bahwa saya dulu juga pernah melakukannya hehehe.

Majar ini berasal dari kata Fajar. Sesuai namanya, berhubungan dengan waktu subuh. "Ngapain sih? Tadarusan di masjid gitu?" errr, sayangnya bukan. Jika sudah ada orang yang ngajakin, "eh besok majar yuk!" itu artinya diajakin jalan ke sekitar Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera hanya buat JJS (Jalan-jalan Subuh).

Kawasan Benteng Kuto Besak. Dokpri.
Kawasan Benteng Kuto Besak. Dokpri.

"Hah, ngapain ke sana subuh-subuh?"

Ya mejeng, pacaran atau main petasan. Begitulah. Intinya kegiatan yang nggak ada gunanya. Mau olahraga, ya kan gak subuh banget gitu juga. Lagian, kalau mau olahraga, lebih tepatnya sore menjelang berbuka, sebagaimana olahraga freeletics yang saya ceritakan beberapa hari lalu.

Padahal, di sekitaran Benteng Kuto Besak itu ada Masjid Agung. Kayaknya lebih berfaedah kalau Majar-nya di sana deh ya. Efek yang ditimbulkan dari kegiatan Majar ini juga banyak yang jelek. Saya baru saja baca berita online bahwa kegiatan Majar ini jadi ajang perang petasan yang berakibat banyaknya sampah. Belum lagi, tak jarang kegiatan ini memicu tindakan kriminal seperti pencopetan dan penodongan.

So, biar kata Majar hanya ada di Ramadan, mending cari tradisi lain deh, ya!

Kompal (Kompasianer Palembang)
Kompal (Kompasianer Palembang)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun