Danang Arief
Danang Arief Psikolog

Menekuni bidang pengembangan organisasi

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Jebakan Kognitif: Kenapa Banyak Pemudik Memaksakan Diri di Jalan?

26 April 2023   15:04 Diperbarui: 27 April 2023   03:01 2435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jebakan Kognitif: Kenapa Banyak Pemudik Memaksakan Diri di Jalan?
Ilustrasi jalanan ketika mudik. Sumber: brgfx di freepik.com

Pada musim mudik tahun ini, tidak jarang kita jumpai berita kecelakaan lalulintas.

Ada banyak faktor penyebabnya. Salah satunya yang menonjol adalah akibat kelelahan pengemudi.

Kondisi fisik yang lelah karena perjalanan jauh dapat membuat pengemudi menjadi tidak fokus dan mudah mengantuk. Ini dapat menyebabkan pengemudi kehilangan kendali atas kendaraan dan menyebabkan kecelakaan.

Sudah banyak himbauan agar beristirahat ketika lelah. Namun, masih saja banyak pengemudi yang memaksakan diri untuk tetap berkendara.

Lalu apa penyebabnya?

Ditilik dari aspek kognitif, berikut adalah beberapa diantaranya:

Survivorship Bias

"Kemarin malam, Jakarta - Solo bisa ditempuh dalam waktu 8 jam saja". Begitulah seorang kawan mengabarkan di grup WhatsApp.

"Kalo dia saja bisa, kenapa saya tidak?", gumam ku.

Inilah salah satu penyebab kenapa banyak pengemudi cenderung memaksakan diri. Mereka berpatokan pada informasi keberhasilan seseorang sampai di tempat tujuan dalam kurun waktu yang relatif cepat.

Mereka kemudian menetapkannya sebagai target bagi diri mereka sendiri.

Padahal faktanya, pemudik yang terjebak dalam kepadatan lalu lintas jumlahnya jauh lebih besar. Hal inilah yang luput dari perhatian mereka.

Terjadilah bias kognitif yang disebut sebagai survivorship bias.

Survivorship bias adalah kesalahan logika yang terjadi ketika kita hanya memperhatikan contoh-contoh sukses atau yang berhasil dan mengabaikan contoh-contoh yang gagal atau tidak berhasil. Hal ini dapat menyebabkan kita membuat kesimpulan yang salah tentang seberapa mudah atau sulitnya mencapai sukses atau hasil yang diinginkan.

Psychological Ownership

"Mobil sudah di tune-up, ban sudah diganti dengan yang baru. Tidak lupa sudah dipoles luar dan dalam. Di jalan harusnya nyaman dikendarai dan handal performanya", begitu gumam kita.

Kita sudah mengeluarkan biaya atau investasi (sunk cost) untuk mobil kita sebelum mudik. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai "psychological ownership". Dimana kita memiliki keterikatan pada suatu hal dikarenakan investasi - baik waktu, tenaga maupun biaya - yang telah dikeluarkan.

Hal tersebut menyebabkan kita cenderung memaksakan diri ketika mengemudi di jalan.
"Sayang nih udah keluar biaya banyak buat mobil kalo ga dimaksimalkan", gumam kita.

Jadilah ketika jalan tol padat, bahu jalan jadi sarana untuk ngebut. Marka jalan dilanggar, sisi jalan yang berlawanan nekat digunakan. Semuanya dilakukan agar "investasi" kita tidak rugi.

"Sunk cost" merujuk pada biaya atau investasi yang telah dikeluarkan dan tidak dapat dikembalikan lagi.

Dalam konteks bisnis atau keuangan, "sunk cost" dapat terjadi ketika sebuah perusahaan telah menghabiskan uang untuk proyek atau investasi tertentu dan kemudian menemukan bahwa itu tidak menguntungkan atau tidak sesuai harapan. Meskipun demikian, perusahaan tetap melanjutkan proyek tersebut karena sayang sudah terlanjur berinvestasi.

Overconfidence Trap

"Istirahatnya di rest area selanjutnya saja, saya yakin masih kuat kog", begitu gumam kita sambil menahan kantuk.

Himbauan agar istirahat 30 menit setelah 4 jam mengemudi sudah sering digaungkan. Namun, ukurannya bisa jadi berbeda-beda untuk setiap orang. Faktor-faktor seperti usia, kondisi kesehatan, kondisi jalan dan kendaraan dapat berpengaruh.

Pada kondisi inilah dimungkinkan terjadinya "overconfidence trap".

Dimana, pengemudi salah di dalam memperkirakan kemampuan fisik dan konsentrasi ketika berkendara. Pada akhirnya, membuatnya terekspose pada risiko yang lebih besar untuk terjadinya kecelakaan.

Overconfidence juga dapat menyebabkan stres di perjalanan. Misalnya karena salah di dalam memperkirakan kondisi kemacetan.

Kesimpulan

Mempersiapkan kondisi kendaraan dan fisik secara optimal sangatlah diperlukan. Namun, jangan lupa ada faktor mental atau kognitif yang juga perlu dikelola dengan baik. Sehingga, penting bagi kita untuk menyadari batasan kemampuan kita dan mengelola ekspektasi. Semua ini agar kita bisa lebih rileks dan aman di perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun