Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Foto/Videografer

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

TRADISI

Andai Mudik Lebaran Tidak Ada

30 April 2023   23:02 Diperbarui: 30 April 2023   23:05 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andai Mudik Lebaran Tidak Ada
Lebaran hari pertama di Jakarta, 5 Juni 2019. (KOMPAS.com/Setyo Adi)

Lebaran sudah bubaran, semua kembali ke kehidupan normal seperti semula sebelum Ramadan tiba.

Sebagian besar bersuka cita dengan datangnya Idulfitri 2023 yang dianggap sebagai hari kemenangan.

Mereka juga bebas untuk tidak lagi terikat kewajiban berpuasa sebulan penuh yang dianggap sebagai beban.

Anak-anak saat lebaran bersenang-senang dengan baju baru, berbagai camilan, dan uang THR dalam kemasan yang menarik.

Sebagian besar masyarakat rela bermacet-macetan dan merogoh kocek dalam demi mudik ke kampung halaman atau kota asal yang meramaikan cerita mudik dan reportase lebaran 2023.

Untuk apa? Katanya, untuk menyambung silaturahim dengan keluarga, padahal sudah ada teknologi komunikasi yang canggih untuk berhubungan.

Di Indonesia, teknologi yang canggih belum bisa diresapi, masih menganut paham klasik: harus bertemu.

Ini yang membuat lebaran masih tidak bisa lepas dengan mudik, bahkan jauh sebelum Idulfitri 2023.


Kembali sepi
Lebaran selesai, libur panjang Idulfitri 2023 selesai, para masyarakat kembali beraktivitas normal di kota mereka masing-masing.

Kampung halaman dan kota asal yang menjadi primadona saat lebaran, kini kembali seperti semula: sepi yang bersahaja.

Kampung halaman menjadi sebaik-baik tempat pulang para pekerja yang lelah, kini kembali ke kehidupan yang normal juga.

Tidak ada lagi jajan lebaran yang tersaji di meja, semua kembali normal dengan meja tamu kosong.


Andai tidak ada mudik

Mudik yang merupakan akronim 'mulih disik' sudah ada sudah bertahun-tahun lamanya setiap lebaran, wajar jika tidak bisa dilepaskan keduanya.

2020, menjadi tahun pemutus tradisi mudik karena pandemi COVID-19, saat mobilitas dibatasi untuk mengurangi penularan.

Semarak Idulfitri sempat meredup, tradisi berkunjung pun tidak terlalu ramai, semua menahan diri masing-masing.

Namun, bagaimana jika tradisi mudik lebaran ini tidak pernah ada di negara ini setiap Idulfitri?

Di satu sisi, kita bisa mengandalkan kemajuan teknologi komunikasi sehingga hubungan silaturahim tidak terputus.

Hanya saja, masyarakat Indonesia terlalu kurang maju dalam hal ini, mereka masih terjebak dalam budaya klasik: harus bertemu secara langsung.

Padahal, tidak selamanya bisa berkomunikasi secara langsung, ada yang masih tetap bekerja, ada juga yang tidak bisa pulang karena terkendala biaya dan jarak.

Mudik lebaran yang ditempuh perjalanan jauh bisa jadi mendatangkan mudarat, seperti sakit hingga kecelakaan.

Andai tidak ada mudik, Idulfitri tetap meriah, bisa berkunjung ke rumah tetangga, berkomunikasi dengan keluarga bisa dengan telepon atau video call.

Andai tidak ada mudik, pemerintah tidak pusing mengeluarkan biaya untuk memperlancar mudik.

Andai tidak ada mudik, sebenarnya tidak menjadi masalah untuk merayakan Hari Raya Idulfitri tanpa cerita mudik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun