Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Penulis

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Madu Saja Oke, Apalagi Ditambah Kurma dan Jinten

4 Mei 2021   21:17 Diperbarui: 4 Mei 2021   21:35 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Madu Saja Oke, Apalagi Ditambah Kurma dan Jinten
Bulan puasa ini, minum Kojima-nya pas sahur dan setelah buka puasa, biar puasanya kuat dan shalat tarawihnya semangat (dokpri)

Madu bukanlah sesuatu yang asing di keluarga saya. Kakek saya, almarhum sering mencari madu liar. Buruan utamanya adalah madu odeng, madu yang dihasilkan lebah hutan raksasa dengan nama latin apis dorsata.

Tak mudah mendapatkan madu jenis ini, karena lebah odeng biasa bersarang di pohon-pohon besar dan menggelayut di atas dahan yang tinggi. Belum lagi ini adalah jenis lebah yang ganas. Sengatannya berbahaya dan bisa mematikan. Tapi kualitas madunya, jangan ditanya.

Karena sulit dan tak selalu mendapatkannya. Kakek juga sering berburu madu yang dihasilkan lebah biasa. Sarangnya lebih mudah ditemukan. Seringkali bahkan tak jauh, di atap langit-langit rumah panggungnya pun ada.

Ada lagi madu lain yang sering didapatkan kakek, yakni madu teuweul atau di tempat lain disebut juga dengan klanceng atau kelulut. Teuweul bukanlah lebah jenis apis yang bersengat, warnanya hitam dan ukurannya kecil. Biasanya membuat sarang di lubang pohon tua, atau bahkan di tiang kandang kambing.

Madu teuweul juga khasiatnya banyak, rasanya lebih asam. Sayangnya, meski mudah dibudidayakan juga, madu teuweul jumlahnya sangat sedikit. Dalam satu sarang bisa dapat lima sendok makan saja sudah bagus.

Kebiasaan mengkonsumsi madu dari kakek itu menurun pada ayah saya yang rutin mengkonsumsi madu. Bedanya, karena ayah saya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia tak punya waktu untuk mencari atau membudidayakannya. Jadi lebih banyak membeli dari para pemburu, atau ternak yang dijual di toko.

Entah ada hubungannya atau tidak dengan kebiasaannya mengkonsumsi madu, baik kakek dan ayah saya sama-sama dikaruniai usia yang panjang. Kakek meninggal di usia 111 tahun. Ayah saya saat ini berusia 81 tahun.

Usia memang rahasia Tuhan, tapi soal kesehatan, keduanya memang prima. Sebelum meninggal, kakek tak pernah mengeluh sakit, dan aktif bertani. Ayah saya, setelah pensiun sempat menjadi sekretaris desa dan sekarang menjadi pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Ciamis-Banjar sampai tahun 2026 nanti.

Kembali soal madu tadi, ketika masih tinggal bersama orang tua hingga tamat SMA, saya juga sering ikut mengkonsumsinya. Sayangnya kebiasaan ini terhenti ketika menjadi mahasiswa perantauan di Makassar, Sulawesi Selatan.

Namanya anak kos, hidup kurang teratur, terutama soal makanan. Makan dua kali sehari sudah bagus. Mengkonsumsi madu, karena harus beli, jadi terlupakan dan akhrinya benar-benar berhenti lama.

Saat itulah kesehatan saya mulai menurun. Masa SMA masih rajin bersepeda --bahkan beberapa kali bersepeda sendirian Ciamis-Bandung PP, saat kuliah, berhenti total. Belum lagi mulai melakukan kebiasaan buruk lain, merokok. Madu diganti rokok. Olahraga berhenti, badan kurang gerak. Penyakit sinus makin sering kambuh. Capek sedikit, kena perubahan cuaca sedikit, langsung ngedrop.

Ketika pindah ke Jakarta, niat untuk memperbaiki kesehatan sudah ada. Mulai rajin lagi mengkonsumsi madu, meski tak teratur. Sayangnya, kebiasaan merokok belum juga berhenti, ditambah lagi dengan kebiasaan begadang karena tuntutan pekerjaan di media yang nyaris tak kenal waktu. Olahraga juga tak punya waktu.

Barulah ketika berkeluarga dan pindah ke Jogjakarta tahun 2009, saya mulai memperbaiki gaya hidup. Memang belum bisa berhenti merokok, tapi hidup di Jogja yang lebih tenang dan tak diburu waktu seperti di Jakarta membuat saya punya lebih banyak waktu untuk menggerakkan badan.

Dengan penghasilan yang tetap, anggaran untuk menyediakan suplemen makanan juga tersedia. Madu menjadi salah satu yang selalu harus ada di rumah. Setidaknya, sesendok sehari, diminum langsung atau dicampur dengan teh menjadi rutin.

Kebiasaan ini juga diikuti oleh tiga anak saya, dari si sulut Puput yang sudah kelas 5 SD, Tya kelas 3 SD, dan si bungsu Ilma yang masih TK, semuanya suka mengkonsumsi madu. Paling sering diminum langsung atau dioleskan pada roti.

Ketika dua gadis kecil saya mulai belajar berpuasa penuh tiga tahun lalu, kebiasaan mengkonsumsi madu rutin dilakukan setiap sahur dan buka puasa. Saat berbuka, sesekali juga mengkonsumsi kurma, yang sudah jadi pengetahuan umum juga memiliki banyak manfaat seperti halnya madu.

Sampai akhirnya saya berkenalan dengan Kojima, madu dengan 3 kebaikan yaitu Korma, Jinten (Habbatussauda), dan Madu. Awalnya hanya mencoba yang sachet, itupun di rumah seorang teman yang sudah lebih dulu mengkonsumsinya.

Soal khasiat, tak perlu lagi dipertanyakan soal manfaat tiga bahan utama itu. Madu dan kurma yang mengandung banyak zat baik buat tubuh. Apalagi ditambah dengan habbatussauda yang kata nabi adalah obat dari segala penyakit, kecuali kematian. Belum lagi rasanya yang segar dengan tambahan ekstrak asam jawa yang juga tak kalah khasiatnya.

Sayangnya, waktu itu masih sulit mendapatkannya di sekitar tempat tinggal saya di Berbah, Sleman, DIY. Lupa lah pada Kojima, meski masih tetap mengkonsumsi madu seperti biasa. Barulah pada bulan puasa tahun ini saya memperolehnya kembali di salah satu jaringan apotik yang buka 24 jam. Langsung beli dua botol kemasan 140 ml.

Karena dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga yang berjumlah lima orang setiap sahur dan buka puasa sebelum shalat tarawih, dua botol itu langsung tandas dalam waktu tak lebih dari seminggu, sehingga harus segera tambah stok.

Alhamdulillah, bukan soal rasanya saja yang disukai anak-anak --yang sebetulnya tak terlalu menyukai buah kurma---tapi khasiatnya juga langsung terlihat. Dua gadis kecil saya yang memang sudah berpuasa penuh, tahun ini tak lagi selalu uring-uringan selepas tengah hari.

Sebelum mengkonsumsi Kojima, dua bulan puasa sebelumnya, meski niatnya kuat dan nggak mau buka tengah hari, tapi keduanya selalu terlihat lemas. Apalagi pas cuaca panas. Tapi tidak dengan puasa tahun ini. Keduanya selalu tampak segar dan ceria hingga sore hari.

Setelah berbuka dan minum sesendok lagi, semangat mereka untuk ikut shalat tarawih --yang sudah mulai dijalankan lagi di masjid kampung saya---semakin tinggi. Jujur saja, soal semangat dan energi, mereka jauh lebih hebat dari saya, hehe...

Setidaknya, saya lebih tenang mengizinkan mereka ikut shalat tarawih. Saya yakin kandungan habbatussauda dalam Kojima membuat daya tahan tubuh mereka lebih baik, apalagi di masa pandemi ini. Meski tentu saja tetap saya wajibkan memakai masker dan cuci tangan-kaki sebelum kembali ke rumah.

Rasanya sih, tak ada lagi keraguan untuk tetap mengkonsumsi Kojima seterusnya, selepas bulan puasa ini. Apalagi pandemi covid-19 belum juga usai. Tak ada salahnya membentengi kesehatan mereka --dan saya sendiri---dengan segala khasiat yang diberikan oleh Kojima.

Jika ayah dan kakek saya --kakek dan buyut anak-anak saya--- mengkonsumsi madu alam dan membuat mereka bugar terus, saya dan anak-anak malah menambahinya dengan konsumsi kurma dan habbatussauda yang disajikan oleh Kojima. Insyaallah, kami juga ingin sehat dan bugar seperti mereka.

Meski untuk itu, saya harus bolak-balik ke apotik yang letaknya lumayan jauh itu. Mungkin sudah saatnya bagi produsen Kojima untuk memperluas distribusinya agar lebih mudah dijangkau oleh konsumen, dan semakin banyak yang bisa merasakan manfaatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun