Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Novelis

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Nyanyian Sahur Muslim Non Pribumi dan Pesta Piyama

5 Juni 2018   03:52 Diperbarui: 5 Juni 2018   04:18 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelas satu ini memang unik. Isinya mahasiswa-mahasiswi Non-Pribumi. Uniknya, semuanya Muslim. Satu agama, tapi multikultural. Beda tapi sama.

Sebagai calon-calon psikolog, mereka tipe milenials yang pengertian, low profile, sabar, dan easy going. Humble dan sikapnya down to earth walaupun berasal dari keluarga kaya. Begitu khasnya kelas mereka sampai-sampai angkatan dari prodi tetangga menjuluki mereka "Kelas Psikologi Solid Non-Native".

Lihat saja. Begitu kompaknya, hingga setengah kelas pun datang ke kampus pagi ini dengan langkah lemas dan wajah tertekuk karena tidak sahur. Terlambat bangunnya kompak juga. Menggelikan dan mengagetkan melihat wajah-wajah blasteran itu kusut.

"Kesel kesel kesel! Gara-gara telat sahur nih!" omel Silvia, mahasiswi cantik blasteran Jawa-Belanda. Anak kepala kantor perpajakan yang pernah jadi ketua OSIS waktu masih di Senior High School.

"Gara-gara admin grupnya! Lupa bangunin kita! Kan dari awal udah kesepakatan, saling bangunin sahur di grup!" Thomas, mahasiswa hitam manis keturunan Ambon-India menegur admin grup kelas mereka.

Semua mata tertuju ke arah Angel. Gadis berkardigan soft pink itu menunduk, wajahnya memerah karena malu. Eits, jangan salah. Meski namanya Angel, tapi wajahnya Timur Tengah. Papinya keturunan Arab, Maminya mualaf asal Manado.

"Wuuuuu! Si Angel bikin kita-kita nggak sahur! Tanggung jawab!"

Seperti paduan suara, seisi kelas memprotes Angel. Bahkan yang tidak ikut telat bangun pun meneriakinya. Hanya satu orang yang tidak berteriak. Seorang pemuda tampan berkulit putih dan bermata sipit di bangku paling depan tetap tenang. Melempar senyum menenteramkan ke arah Angel.

"Iya iya...nanti aku traktir kalian buka puasa. Pilih aja restonya." janji Angel. Sukses mengundang teriakan antusias dari para korban yang terlambat bangun sahur.

Si pemuda sipit keturunan Tionghoa menepuk punggung Angel. Mengisyaratkan tindakannya sudah benar. Sejurus kemudian ia bangkit dan berjalan ke depan kelas. Spontan ruangan kelas hening total. Semua mahasiswa mengarahkan fokus perhatian padanya. Tersedot pesona pemuda Chinese yang kharismatik dan charming.

"Sssttt...si Calvin pasti mau kasih solusi." bisik Marco, mahasiswa berdarah campuran Betawi-Italia. Memberi kode agar seisi kelas tenang.

"Guys, semua orang tahu kalau angkatan dan kelas kita kompak. Bahkan kekompakan kita dikenal departemen dan fakultas lain. Urusan besar dan kecil, akademik maupun non-akademik, kita selesaikan bersama. Termasuk soal sahur. Kita di sini sama, tapi beda. Jalan ita menuju Tuhan sama, tapi prosesnya yang beda. Di sini ada juga yang mualaf,"

Pandangan Calvin jatuh pada Tommy. Merasa kesulitannya diperhatikan, Tommy tersenyum lebar.

"Tenang, Tom. Aku juga mualaf kok. Cuma bedanya aku mualaf dari umur 10 tahun, jadi udah biasa bangun sahur. Nah, sekarang kita harus bikin cara baru biar kejadian ini nggak terulang lagi."

Para mahasiswa Non-Pribumi meneriakkan persetujuan. Mereka sepakat untuk mengganti cara baru. Di barisan tengah, seorang mahasiswa blonde dan bermata biru mengangkat tangannya.

"Kamu udah punya ide, Vin?"

"Udah, Revan. Tenang aja. Ini aku baru mau bilang idenya."

Kelegaan menebar. Bila Calvin Wan sudah punya ide, bereslah semuanya. Takkan ada kejadian terlambat bangun sahur lagi.

**      

Mata biru Revan membelalak melihat undangan yang diposting Calvin di grup persahabatannya. Grup Whatsapp itu hanya berisi tiga orang: Calvin Wan, Revan Tendean, dan Albert Hartman.

"Ya ampun...Calvin Calvin, beginian aja pakai undangan. Dasar perfeksionis." Revan setengah tertawa, setengah memaki saat video call dengan Calvin.

"Biar lebih ok, Revan. Kamu sama Al nggak keberatan, kan?"

"Nggaklah. Malah senang. Kita eksekusi besok pagi. Dijamin, mereka nggak bakal telat bangun sahur lagi."

Calvin mengangkat jempolnya. Bersyukur karena letak tempat tinggal teman-temannya masih dalam satu kawasan. Memudahkan alternatif mereka untuk membangunkan sahur.

**    

Pelataran masjid di kompleks perumahan elite itu telah berubah seperti panggung. Kilau belasan lampu memuntahkan cahaya. Heningnya sepertiga malam menjadi meriah oleh kehadiran serombongan pemuda tampan berjas biru gelap dan gadis-gadis cantik bergaun putih membawa tongkat berbentuk bintang. Pemuda berambut pirang dan bermata biru pucat memimpin kelompok pemuda berjas biru gelap itu.

Di sudut lain, sesosok pemuda rupawan dengan jas hitam baru tiba. Kostumnya berbeda sendiri dengan teman-temannya. Pemuda itu menggerakkan sebuah tongkat di tangannya. Seperti memberi kode. Langsung saja sekumpulan milenials yang baru datang menyebar di berbagai titik. Stand by di posisi masing-masing.

"Siap, Vin?" tanya Albert, pemuda tampan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia yang berdiri di tengah lingkaran.

Calvin mengangguk, memberi tanda. Albert memegang timpani, Revan memegang bass. Beberapa anggota kelompok itu siap dengan bellyra/marching bell di tangan mereka. Ada pula yang memasang terompet di bibirnya. Dalam marching band, terompet digunakan untuk memainkan melodi dan soprano. Gadis-gadis bergaun putih berdiri anggun dengan stick mayoret tergenggam erat.

Sementara itu, Calvin siap di posisinya. Ia mainkan jemarinya di atas tuts piano. Albert, Revan, anggota marching band, mayoret, dan takmir masjid terpana oleh permainan piano Calvin. Calon pewaris jaringan supermarket itu memainkan piano dengan sangat sempurna. Calvin bermain musik secara solo, lalu bernyanyi.

Meski rintangan yang datang tuk menghadang cinta kita

Ku kan selalu menjagamu

Ku kan selalu di sisimu

Berjuta rasa cinta ini yang akan kuberikan

Kepadamu oh kasihku

Kepadamu pujaanku selamanya (Calvin Jeremy-Selamanya).

Suara bass Calvin empuk dan merdu. Sesaat mereka semua terpesona, nyaris lupa tugas mereka.

Sedetik kemudian, stick mayoret bergerak lagi. Anggota marching band tersadar. Lalu mulai memainkan lagu yang tadi dinyanyikan Calvin dengan aransemen mereka. Calvinlah yang mengaransemen musiknya.

Para takmir masjid terkagum-kagum menyaksikan suksesnya ide Calvin. Strategi tak biasa dalam membangunkan sahur: menyanyi dan menari. Walaupun lagunya bukan lagu religi, tapi toh efektif juga. Cara ini cocok untuk generasi muda zaman now macam mereka.

Tak sampai di situ. Permainan musik mereka tak berhenti saat lagu selesai. Kini marching band beraksi lebih keren lagi. Mempercepat tempo mereka, menaikkan nada, menggerakkan hati beberapa gadis dan pemuda untuk menari. 

Calvin meninggalkan pianonya, menarik tangan seorang gadis, lalu menari di tengah pelataran masjid. Sebagai mantan model dan duta budaya, Calvin berbakat koreografi. Gerakannya luwes dan sempurna. Ia bawa mayoret cantik bergaun putih itu menari pirouttes. 

Calvin menumpukan kakinya di kaki mayoret, lalu membawanya dalam gerakan tarian berputar-putar yang cepat tapi teratur.

Tarian Calvin dan si mayoret membangkitkan semangat Albert dan Revan. Menyerahkan timpani dan bass ke anggota marching band di samping kanan, mereka bergabung dengan Calvin. Tak sia-sia ide Calvin. Ide ini sekaligus menghapus stereotip Muslim Indonesia dan agama Islam itu sendiri.

Muslim Indonesia tak harus Pribumi. Non-Pribumi berkulit putih pun bisa menjadi Muslim. Siapa bilang orang Islam tak boleh bermain musik? Hanya Muslim fanatik nyaris sesat yang anti musik. Padahal Allah menyukai keindahan. Musik termasuk bagian dari estetika, kan?

Kata siapa di masjid tidak boleh ada piano dan alat musik modern? Di masjid pun boleh ada alat musik modern, sama seperti rumah ibadah agama lainnya. Islam tak hanya identik dengan grup kasidah saja. Grup musik modern pun bisa bermanfaat untuk Islam.

Strategi Calvin sukses. Penampilan baru berlangsung sepuluh menit ketika terdengar teriakan gembira dari gerbang masjid. Anak-anak muda berpiyama beraneka warna berlarian ke pelataran. Mereka tertawa riang, dan ikut menari dengan penuh semangat. Ada juga yang menyanyi.

Keseruan sepertiga malam makin asyik saja. Anak-anak muda yang ikut di dalamnya, selain dari etnis yang beragam, pakaiannya juga beragam. Ada yang memakai jas, gaun, dan piyama.

"Wow rasanya kayak pesta piyama ya," komentar Angel excited. Ia menari berputar bersama Silvia. Kedua gadis itu kompak mengenakan piyama sutra merah muda.

"Thanks, Calvin. Karena idemu, aku nggak telat bangun lagi. Yuhuuuu!" seru Tommy, memukul pelan punggung Calvin.

Mereka lakukan ini dengan tulus dan senang. Bukankah membangunkan sahur itu berpahala?

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun