Nadira Aliya
Nadira Aliya Administrasi

Halo! Saya Diraliya, seorang penulis lepas yang cerewet ketika menulis namun kalem ketika berbicara. Selamat membaca tulisan-tulisan saya, semoga ada yang bisa diambil darinya :)

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Sesak Kado Terakhir Ibu

8 Juni 2018   17:04 Diperbarui: 8 Juni 2018   17:07 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesak Kado Terakhir Ibu
Sumber: Hiveminer.com

Suara takbir masih bertalu-talu, mengalun semakin sendu mengiringi pagi yang mulai menyingsing. Wangi uap sayur labu yang bercampur santan menguar dari dapur. Itu ibu yang sedang menghangatkan hidangan hari Raya. 

Di meja makan, semangkuk ketupat yang masih mengumpat dibalik daun janur mengundang selera makan siapapun yang melihatnya. Apalagi di sampingnya juga sudah ada sambal goreng ati dengan petai, lengkap dengan kerupuk dan bawang goreng renyah.

Rumah keluarga Mar mungkin hanya setahun sekali bisa merasakan kenikmatan tersebut. Ayah Mar telah tiada semenjak 10 tahun lalu. Ibuk di usia senja hanya bisa mendoakan Mar dari jauh, sebab Mar memang pergi merantau hingga ke negeri seberang untuk bekerja. Sadar diri hanya dirinya yang masih sanggup mengemban tugas mencari nafkah untuk keluarga.

Tak setiap tahun Mar bisa pulang. Tahun kemarin pun ia mesti rela merayakan hari Raya di negeri yang tak banyak muslimnya. Hari Raya terasa seperti hari biasa saja, hanya sang majikan yang memberikannya sedikit kelonggaran waktu untuk shalat Ied di kedutaan besar.

Tahun ini,Mar beruntung. Setelah berhemat dan mengumpulkan rezeki demi bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di kampung, ia akhirnya bisa merasakan lagi hangatnya berlebaran di rumah. Rumahnya memang sepi, kini tinggal ia, Mira adiknya, dan ibu yang mendiaminya. Adalah kalimat-kalimat peneduh dari Ibuk yang selalu berhasil membuat rumah yang mungil itu tetap terjaga kehangatannya.

"Buk, Mar senang sekali bisa lebaran di sini lagi." Mar menghampiri dan membantu Ibuk mengupas ketupat.

"Yo Ibuk wis pasti luwih seneng tho, nduk... Kamu pulang ndak usah bawa banyak oleh-oleh pun Ibuk bahagia seperti dipasangkan sayap."

Mar tersenyum menatap ibunya. Lama tak bersua, ia temukan semakin banyak rambut putih yang menghiasi kepala ibunya.

"Ibuk mau kado apa? Hari ini kan ulang tahun Ibuk. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke Pasar Simpang Enam?"

"Kadoku yo koe, nduk.. Koe mulih wis dadi kado untuk Ibukmu ini." Ibuk memeluk Mar. Erat. Ini ciri khas keluarga Mar. Ibunya selalu memeluk dengan hangat dan erat-erat, seakan tak ingin Mar pergi jauh darinya. Dari Mar kecil hingga hampir seperempat abad kini, hal ini yang tak berubah dari keluarga sederhananya itu.

"Ya aku kan juga ingin kasih kado untuk Ibuk, Buk. Ibuk ndak pingin baju kaftan seperti yang dipakai Yu Sumi kemarin, apa?"

Ibuk hanya tersenyum. Ketupat sudah tersedia di piring. Si kecil Mira mulai menyantapnya. Di kampung ini, orang rutin untuk makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Fitri, sehingga setelah shalat waktu bisa lebih kondusif dimanfaatkan untuk halal bil halal.

Sekilas, hanya sekilas, Mar menangkap sosok Ibuk yang sedang tersenyum seperti seorang yang tak dikenalnya. Senyumnya masih senyum teduh Ibuk seperti biasa, hanya saja seperti ada yang lain di wajahnya. 

Agak sedikit cerah, jika bisa dibilang. Ini bukan seperti cerahnya wajah seperti wanita-wanita di iklan pencuci wajah. Tentu saja, sebab Ibuk memang sudah termakan usia, terlihat dari --pahatan-pahatan alami halus di wajahnya. Bahkan ketika sedang tersenyum.

"Mar. Anakku. Kamu anakku yang paling bikin aku bangga. Tahu kamu, Nak, kemarin Pak Ustadz cerita, bahwa rezeki itu bukan hanya uang saja, Nak. Tapi keluarga yang saling sayang juga rezeki. Yo aku berarti sudah kaya saat ini, Nak. Karena ada kamu dan Mira."

Mar mendengarkan sambil menyendok sayur labu ke atas potongan ketupatnya.

"Nggih, Buk." Kali itu ia tak menjawab bosan seperti biasanya.

"Sebagai anak tertua, kamu wis dadi kebanggaanku, Ndhuk. Mira juga sepertinya sudah mandiri. Itu lihat dia sudah bisa jualan sendiri pakai online online. Uang jatahmu untuk Mira dia jadikan modal. Kalian memang anak-anak pintar paling kusayang." Ibu kemudian mencium ubun-ubun kepala kami yang sudah mengenakan kerudung, siap menuju masjid untuk shalat Ied.

Seberapa seringkah kita bangga dikecup ibu? Semenjak usia berapa anak-anak mulai malu terlihat disayangi oleh ibunya di depan umum? Yang jelas, Mar dan Mira tak punya banyak waktu lagi untuk merasakan kehangatan itu.

"Nak, Ibuk minta maaf ya, anak-anakku. Ibuk sadar Ibuk sering juga cerewet dan marah-marah kepada kalian. Ngerti lah kalian sudah umur segini, semua demi kebaikan kalian sendiri."

Tak ada yang menjawab. Hari itu udara terasa sedikit berat di tenggorokan Mar dan Mira. Entah ada angin apa yang lewat.

"Yuk, wis, ojo lelet-lelet mangane. Sebentar lagi shalat dimulai, kalau ndak jalan sekarang, yo ndak dapat tempat."

**

Setiap kali Ramadan berakhir, maka bersedihlah mereka yang harus menunggu satu tahun lagi untuk berjumpa dengan bulan penuh ampunan dimana pahala juga berbanjiran untuk umat manusia.

Ibuk bukan orang yang keranjingan beribadah. Seingat Mar, bahkan bacaan Qur'annya masih terbata-bata. Tapi satu yang pasti, Ibuk sangat suka mendengarkan kajian. Di manapun itu. Ibuk juga pernah berpesan, memang penting kuantitas ketika kita beribadah, hanya saja, terkadang perlu juga menjaga kualitasnya.

"Menghabiskan waktu untuk beribadah sendiri iku yo koyokne agak egois,Nduk... Di luar masih ono juga wong-wong sing butuh bantuan kita. Manusia ki akan diridhai Gusti Allah sat manusia lainnya juga ridho sama dia."

Dalam perjalanan shalat Ied, nasihat itu seperti terngiang di telinga Mar. Ibuk nampak sehat di usianya yang kini 56 tahun. Berjalan walau terpatah-patah didampingi kedua anaknya.

"Nak, Ibuk wis maafkan kalian. Kalian mesti hidup mandiri, ndak nyusahin orang lain yo, Nak...Hati-hati "

"Ibuk kayak mau pergi jauh aja, deh."

"Ya, ndak, Ibuk kan pesan wanti-wanti supaya kalian ingat nanti kalau Ibuk tiba-tiba dijemput Bapak."

"Ibuk ah, jangan ngomong gitu! Mira nanti sama siapa kalau Ibuk pergi."

"Kamu wis dadi anak mandiri, cah ayu... Mengerti bagaimana mengurus diri sendiri. Beberapa tahun lagi, kamu bisa sesukses kakakmu, Ndhuk."

Mira terdiam mendengarkan sambil tak terasa matanya berair.

Allahuakbar, allahuakbar. 

Ketika seseorang meninggalkan Ramadan dengan hati pilu, sesungguhnya ada bagian besar dari dosa-dosa gugur terhapus setelah shalat Idul Fitri. Itulah mengapa hari Lebaran disebut pula sebagai hari kemenangan. 

Manusia lahir seperti suci kembali, diputihkan dari segala keburukannya. Dan Ibuk telah mendapatkan kemenangannya pada sujud terakhir rakaat kedua shalat Idul Fitri lebaran kali itu. Kado terbaik untuk orang terbaik bagi Mar dan Mira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun