Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Freelancer

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

THR Anak Milik Siapa?

17 Mei 2021   15:23 Diperbarui: 18 Mei 2021   08:36 4977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
THR Anak Milik Siapa?
Ilustrasi amplop THR| Sumber: Thinkstock via Kompas.com

Sudah hari kelima, sepertinya tak ada tambahan "THR" lagi untuk anak-anak. Apalagi hari ini orang-orang sudah mulai masuk kerja. Kemungkinan besar tidak ada lagi tamu yang bertandang, orang tua mereka sendiri pun lebih suka di rumah, bahkan sejak lebaran pertama.

Anak-anak mulai mentotal "pendapatan" mereka dari bude, pakde, amma, mbah, juga tetamu yang saking baiknya, sudah mendatangi masih memberi pula. Tak usah kusebut angkanya. Bagi sebagian orang, kecil saja. Tapi bagi sebagian lain, angkanya cukup besar.

Yang jelas bagi anak-anakku sendiri, uang sejumlah yang ada di tangan mereka bisa dibilang sangat wah. Sebagai orangtua, aku turut bahagia melihat kegembiraan mereka. Tapi cukup sebatas itu, senang karena anak-anak senang. Bukan senang karena bisa turut menikmati "harta" mereka.

Sebagian orang membawa dalil agama, harta anak adalah milik orangtua mereka juga, untuk memenangkan pendapat, bahwa mereka berhak membelanjakan isi amplop lebaran anak sepenuhnya. 

Sebagian lagi makin merasa berkuasa mendengar dalil tersebut, setelah sebelumnya cukup dengan alasan "Kamu makan dari mana?"

Aku pribadi punya pendapat, bahwa uang yang diterima anak selama lebaran sepenuhnya merupakan milik mereka. Cukup dua alasan; pertama, yang memberi kemungkinan besar berniat untuk menyenangkan hati anak-anak, bukan orangtua mereka. Kedua, aku tidak mau jadi orangtua yang buruk di mata anak-anakku.

Pendapat orang sih terserah, aku bukan emaknya kan! Lagi pula dalil yang banyak digunakan orang-orang tersebut sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah dewasa terhadap orangtua mereka. 

Sebagaimana dalil "hak orang miskin" yang lebih tepat diarahkan pada si kaya dan dalil tentang larangan meminta-minta, yang tepat diberikan pada mereka yang berkekurangan. Jangan salah pasang!

Baca juga: Jika Anak Melihat Orang Tua Selingkuh

Selain itu, membiarkan anak mengelola uang THR mereka, memberi sedikitnya tiga manfaat berikut ini:

1. Menjaga Kepercayaan Anak

Banyak orangtua yang mengeluh, anak mereka tak mau menitipkan uang THR pada ayah/ibu. Lebih suka menyimpan sendiri, padahal orangtua hanya khawatir uang itu hilang, tidak berniat menggunakan.

Photo by <a href=Diana Akhmetianova on Unsplash
Photo by <a href=Diana Akhmetianova on Unsplash
Aku meyakini si anak pun hanya ingin merasakan sensasi punya uang sendiri, seperti orang dewasa. Tak melulu karena takut dibelanjakan orang tua. Kecuali... kalau ayah/ibu mereka pernah melakukannya!

Jadi kalau orangtua tidak pernah "mencuri" uang si anak, pede aja katakan bahwa niatnya cuma untuk memastikan uang itu aman. Kalau memang belum pernah dicurangi, mereka akan menyerahkannya kok!

2. Memberi Contoh Adab yang Baik

Kita pasti suka jika pendapat kita dihargai, harta kita dijaga (tidak diganggu), begitu pula anak-anak. Sebelum berpanjang-panjang tausiah, lebih baik beri mereka teladan.

Kalaupun memang kita membutuhkan uang yang ada pada mereka, ajak mereka diskusi, minta baik-baik. Gunakan uang tersebut atas sepengetahuan mereka. Percaya deh, aslinya anak-anak itu nggak pelit! Mereka justru suka jika bisa membantu orangtuanya.

Baca juga: THR untuk Beli Pistol!

3. Bukti Ketulusan

Apa rasanya jika uang yang kamu titipkan pada orang yang kamu percayai tahu-tahu habis tanpa sepengetahuanmu? Pasti bikin sakit hati. Lebih menyakitkan lagi ketika yang mengkhianati kepercayaan itu merasa perbuatannya benar, lalu kasih alasan, "Bajumu dari mana, makanmu dari mana?"

Kalau anak-anak bisa memilih dilahirkan dari keluarga mana, mungkin mereka nggak pilih kita. Ngapain milih orangtua korup!

Janganlah sekali-kali menyebut apa yang sudah kita beri pada anak. Sebab semua itu adalah kewajiban yang tidak mereka tuntut, melainkan dibebankan oleh yang menitipkan mereka pada kita.

Allah mewajibkan kita memberi anak-anak makan, tapi Allah memberi kita rezeki. Allah mewajibkan kita mendidik anak, karena kita diberi akal, dst.

Setiap orangtua hampir pasti mencintai anak-anaknya. Anak-anak bisa merasakan itu tanpa kita umbar apa yang pernah kita korbankan. Menyebut-nyebut pemberian ketika anak-anak menolak memberi atau menanyakan uang yang mereka titipkan, justru mencederai keyakinan bahwa mereka dicintai orangtua dengan tulus.

Bukan berarti orangtua membebaskan anak membelanjakan uang mereka sesuka hati. Itu bukan cinta, tapi nggak peduli. Kita cukup mengarahkan agar anak-anak memanfaatkan uang yang mereka punya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Misalnya untuk membeli seragam sekolah yang sudah kekecilan, membeli makanan favorit yang sudah lama mereka inginkan (why not?), membeli mainan edukatif, alih-alih topup game online, sedekah, ditabung, dll.

Intinya komunikasi. Kalau sudah biasa ngobrol dengan anak, boro-boro repot ngerayu untuk simpan THR. Mereka malah menawari orangtua, mau ditraktir nggak? Ayo, siapa yang sudah di level itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun