Mohon tunggu...
Khoerul umam
Khoerul umam Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Syari'ah IAIN Purwokerto

Seorang mahasiswa semester 4 fakultas syariah IAIN Purwokerto dan pegiat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Pandangan Santri tentang Salat Tarawih Berjamaah di Masjid pada Saat Pandemi

2 Juni 2020   07:20 Diperbarui: 2 Juni 2020   07:12 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramadhan tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut timbul akibat munculnya wabah corona virus disease 19 (covid 19). Pada tanggal per 3 mei kasus terkonfirmasi di Indonesia sudah mencapai 11. 192 kasus positif sejak kasus pertama pada awal maret (Dilansir dari detikNews). 

Melihat hal tersebut pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan social distancing (menjaga jarak antar manusia) sebagai upaya agar wabah covid 19 tidak menjangkiti manusia lebih banyak lagi. Kebijakan social distancing diterapkan karena penyebaran wabah covid 19 terjadi melalui interaksi antar manusia baik itu salaman, terkena air liur, berkumpul atau kegiatan lainnya. 

Akibat dari kebijakan tersebut segala aktifitas yang melibatkan orang banyak tidak diperbolehkan termasuk pelaksanaan ritual ibadah agama dan keagamaan yang melibatkan orang banyak; seperti salat jumat, salat berjamaah, dan yang lainnya. Selain itu, salat tarawih sebagai salah satu ibadah yang menjadi ciri khas bulan ramadhan juga ikut tidak diperbolehkan. 

Melihat fenomena tersebut tentu menjadi sesuatu yang terkesan baru bagi masyarakat yang awam akan ilmu agama. Melihat hal itu maka, peran santri menjadi penting untuk memberikan solusi hukum islam terkait salat tarawih berjamaah di masjid pada saat pandemi.

Dilihat dari konteks historis, istilah tarawih belum dikenal pada zaman nabi, penamaan tarawih baru dirumuskan oleh para ulama yang didasarkan pada hadis (HR. Mutafaqun ‘alaihi)  من قام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه   

Pada hadis di atas, terdapat redaksi "qoma romadhona" dari potongan redaksi hadis tersebut ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah salat tarawih dan dari sinilah istilah tarawih mulai digunakan. Pelaksanaan salat tarawih mulai dikerjakan nabi pada tahun ke 2 hijriyah. Pada awal pelaksanaan salat tarawih dilakukan oleh nabi di masjid yang kemudian diikuti oleh para sahabat. 

Melihat akan antusiasme para sahabat melaksanakan salat tarawih, nabi menjadi khawatir kalau sewaktu-waktu Allah mewajibkan salat tarawih yang kemudian bisa memberatkan umat setelahnya karena belum tentu mempunyai semangat yang sama dengan para sahabat, oleh karena itu nabi pada malam ke 3 ramadhan mengurungkan niat beliau untuk melaksanakan tarawih di masjid. 

Pada masa selanjutnya, yaitu masa khalifah Abu Bakar salat tarawih masih dilakukan secara mandiri akan tetapi ada juga yang berkelompok-kelompok dalam satu masjid dan belum ada kesepakatan satu imam untuk satu masjid. Kebiasaan tersebut mulai berubah pada masa khalifah 'Umar bin Khatab. Beliau menginisiasi agar pelaksanaan salat tarawih dilaksanakan secara berjamaah dalam satu masjid dan dipimpin oleh satu imam yang kemudian dipilihlah ubay bin ka'ab sebagai imam. Hal tersebut sesuai dengan khabar yang disampaikan 'Abdurahman bin 'Abdil Qari (HR. Bukhori):

عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال: خرجت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه ليلة في رمضان الى المسجد فإذ الناس أوزاغ متفرقون يصلي الرجال لنفسه ويصلي  الرجل فيصلى بصلاته الرهبط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان امثل ثم عزم فجمعهم على ابي بن  كعب ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم قال عمر نعم البدعة هذه.ا

Pendapat 'umar bin khatab tersebut yang kemudian diamalkan sampai sekarang oleh umat muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, pelaksanaan tarawih secara berjamaah di masjid ramadhan kali ini agaknya perlu dikaji ulang, pasalnya penyebaran wabah yang terus meluas. Maka, santri sebagai calon penerus ulama mempunyai kewajiban untuk ikut berupaya memberikan solusi hukum islam yang terbaik kepada masyarakat.

Lalu bagaimana upaya para santri dalam membentuk hukum yang bisa memberikan solusi? Hukum yang baik adalah hukum yang merespon realitas. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) murid Ibnu Taimiyah  dalam kitab fikihnya I'lam al-Muwaqi'in 'an Rabb al-'Alamin, menyampaikan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun