Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Kolang Kaling dan Teladan Toleransi Mewarnai Kenangan Masa Kecil di Sukabumi

4 Juni 2018   00:01 Diperbarui: 4 Juni 2018   00:33 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: childreneducatrionfunds.inc

"Kenangan berpuasa di masa kecil? Waduh kayanya saya ngga punya deh",  gumam saya ketika mendapat tantangan mengisahkan suka duka  berpuasa di bulan Ramadan. Menjadi mualaf setelah lulus kuliah dan bekerja membuat saya berpikir tidak memiliki kenangan berpuasa di usia anak-anak. Namun ternyata saya salah. Bumi Indonesia dihuni  penduduk dengan  beragam agama dan keyakinan. Saling berinteraksi sesuai sunnatullah. Pastilah ada kenangan yang kadarnya  sesuai frekuensi yang terjalin.

Lahir dan besar di kota kecil Sukabumi  provinsi Jawa Barat, saya terlambat mengetahui bahwa kota dan kabupaten Sukabumi termasuk kawasan religius. Banyak pesantren disini.  Tak kurang Jokowi mendatangi pesantren-pesantren di Sukabumi pada pilpres 2014 dan menjelang pilpres 2019.  Penanda tingginya pengaruh pesantren yang bertebaran di daerah Sukabumi.

Bukan tanpa  alasan jika saya terlambat menyadari. Rumah dan lingkungan tempat saya lahir dan tumbuh  menyebabkan saya hidup bak dalam tempurung. Terletak di jalan protokol Kota Sukabumi, hampir setiap rumah di Jalan Siliwangi dibatasi pekarangan luas. Jarak antar tetangga yang jauh menyebabkan minimnya kesempatan bertemu. Baru menginjak usia SMP saya mengenal anak tetangga depan rumah yang ternyata seusia dan seangkatan. Itupun karena kami masuk dalam sekolah yang sama. Jika tidak, entahlah.

Yane, nama anak tersebut termasuk dalam menak Sunda. Kelompok tuan tanah di bumi Pasundan yang memiliki hektaran tanah dalam bentuk ladang, sawah dan perkebunan. Mereka memiliki kendaraan roda 4 yang pada tahun 1970-an jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari ((mungkin)) ^_^. Mereka ini pulalah yang memeriahkan bulan Ramadan dengan dentuman meriam bambu dan petasan karbit. Mungkin jika saat itu telah masuk era milenial yang muncul adalah petasan dengan pijaran warna warni.

Jika Yane dan keluarganya  termasuk menak Sunda, kami merupakan keluarga pendatang yang menempati rumah peninggalan Belanda dan dihibahkan pada  yayasan Mardiyuana, suatu yayasan agama Khatolik yang membawahi sekolahan dan  pasturan.  Berada diatas tanah seluas kurang lebih 4.000 meter persegi  bangunan rumah yang kami tinggali hanya sekitar sepersepuluhnya.  Ada kolam  ikan hias dan teratai diidepan rumah  dan puluhan  tanaman keras seperti rambutan, alpukat, durian, jeruk mangga, pohon aren dan pohon kelapa.

sumber: tribunnews.com dan cancer-treatment.info
sumber: tribunnews.com dan cancer-treatment.info
Saya menandai datangnya bulan Ramadan dengan adanya pembeli buah aren untuk diolah menjadi kolang-kaling atau buah atap . Ada sekitar 3-5 pohon Aren  (Arenga pinnata) yang tumbuh di belakang rumah. Berjuntai-juntai buah aren direbus di tempat. Mereka membuat   perapian dengan bahan bakar suluh atau kayu bakar. Tujuannya untuk membuang getah yang menimbulkan rasa gatal luar biasa.  

Di luar bulan puasa, ABG yang ababil dan  sok  jagoan sering tawuran dengan menggunakan air rendaman aren. Primitif memang, melempar ikatan    kantong  plastik berisi  air rendaman aren pada pihak lawan agar mereka merasa gatal yang luar biasa.

Ibunda dengan senang hati mengizinkan para pemborong buah aren menggunakan area belakang rumah untuk memroses kolang kaling. Sehingga setiap tahun saya bisa melihat bagaimana buah atap direbus,  dikupas dan digeprek kemudian direndam dalam larutan air kapur. 

Walau jumlah buah aren yang dipanen cukup banyak, namun hanya 2 orang yang mengerjakan. Konsekuensinya pengerjaan menjadi cukup lama, hingga berhari-hari.

Jika awal Ramadan saya tandai dengan datangnya pemborong buah aren.  Selama bulan puasa saya ikut larut  bergembira ria karena pedagang lotek mengubah dagangannya menjadi kolak dan asinan. Pedagang lotek ini berjualan di atas tanah tempat kami tinggal. Tepatnya tanah di samping gang menuju perkampungan di belakang rumah. Ada 2 orang pedagang yaitu penjual lotek dan pedagang minyak tanah;. Selain itu ada pedagang kaki lima (PKL) yang nomaden, berjualan mie bakso dan es campur.

Hanya  Bik Mimin pedagang lotek dan penjual minyak tanah yang tetap berjualan di bulan Ramadan. Karena masa itu belum banyak saingan, barang dagangan Bik Mimin laris mas tanjung kimpul. Sayangnya saya ngga boleh jajan disitu. Ibu membuat sendiri kolak dengan alasan lebih higienis dan jatuhnya murah. Iya sih, anak ibu berjumlah 6 orang, bisa bobol kantongnya jika jajan melulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun