KOMENTAR
RAMADAN

Bakar Tempurung Kelapa Dalam Menyambut Malam Lailatul Qadar Pernah Eksis di Kampung Saya

16 Mei 2021   12:19 Diperbarui: 16 Mei 2021   12:30 1178 3

Sangat perlu kita kembali mengingat pada masa lalu, apakah ada budaya atau kebiasaan yang relevan pada konteks sekarang, itu dilestarikan atau malah sudah musnah tertelan dengan perkembangan budaya modernisasi yang semakin hari pragmatis dan apatis. Seperti halnya kebiasaan atau budaya dari aksi para pemuda-pemuda kampung desa Todang-Todang, Polewali Mandar, tempat tinggal saya yang pernah eksis di jamannya.

Dulu sekitar tahun 2000-an dan tahun-tahun sebelumnya, saya masih dapat jamannya para pemuda kampung sangat antusias untuk membakar tempurung kelapa pada saat malam ke-27 ramadan. Saat awal-awal puasa menjelang, aksi pemuda dalam mengumpulkan tempurung kelapa untuk dibakar pada saat malam ke-27 ramadan sontak ramai terjadi dikalangan kampung saya pada waktu itu.  

Saya ingat betul hampir setiap rumah di depannya ada terbakar tempurung kelapa yang tersusun secara vertikal 1-2 meter tingginya. Di mana waktu itu kondisi kampung belum ada listriknya sehingga nampak jelas keindahan dan terangnya cahaya dari pembakaran tempurung kelapa di depan rumah warga kampung.

Aksi tersebut bukan hanya dari kalangan pemuda, tetapi juga para anak-anak terlibat, bahkan didukung penuh oleh orang tua dan masyarakat kampung. Nah, opini yang dibangun oleh orang-orang terdahulu kenapa perlu untuk membakar tempurung kelapa pada saat malam Lailatul Qadar atau malam ke-27 ramadan yakni sebagai pemantik untuk menerangi rahmat dari Lailatul Qadar agar datang di rumah warga setempat.

Hal itu didukung arti tempurung kelapa dari versi bahasa Mandar atau bahasa kampung saya, yakni "Ka'daro". Penyebutan kata "Ka'daro" hampir sama dengan "Lailatul Qadar", sehingga itu dapat menjadi alasan bahwa "Ka'daro" dengan "Lailatul Qadar" ada hubungannya.

Dalil itu diperkuat dengan ada cerita bahwa pada malam Lailatul Qadar akan datang Malaikat untuk memberikan rahmat kepada orang-orang muslim sesuai yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Artinya dengan adanya "Ka'daro" yang dibakar, maka jalan bagi Malaikat sebagai pembawa rahmat Lailatul Qadar akan terang dan cepat menghampiri rumah. Bukan hanya bakar tempurung kelapa dalam menyambut malam Lailatul Qadar, tetapi lantunan baca Al-qur'an juga terdengar nyaris pada setiap rumah-rumah yang ada di kampung Todang-Todang waktu itu.

Selain itu dengan adanya pembakaran tempurung kelapa juga sangat membantu para jamaah ketika ingin pergi shalat tarwih. Mengingat waktu itu, saat orang-orang kampung pergi shalat tarwih biasanya memakai senter ataupun obor sebagai penerang dalam perjalanan menuju masjid, itu pun jarang. Sehingga lagi-lagi, bakar tempurung kelapa banyak membantu masyarakat kampung.  

Saya sih tidak tahu persis apakah aksi bakar tempurung kelapa juga menjadi eksis di daerah-daerah lain waktu itu, terutama daerah lain di Mandar. Tetapi kalau kampung saya aksi tersebut pernah menjadi jaya dan seakan menjadi kewajiban para pemuda untuk membakar tempurung kelapa pada malam ke-27 ramadan.  

Nah, seiring berjalannya waktu justru aksi-aksi tersebut semakin berkurang dan bahkan hari ini sudah tidak ada lagi. Bahkan anak-anak sekarang di kampung saya, sudah banyak yang tidak mengenal kalau dulu pernah ada pembakaran kelapa. Mereka tidak tahu kalau kakak-kakaknya ataupun orang tuanya ternyata pernah melakukan bakar tempurung kelapa pada malam Lailatul Qadar dam itu rutin dilakukan di jamannya.

Anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain game baik sebelum maupun sesudah tarwih meskipun waktu malam Lailatul Qadar, itu sudah terbukti kejadiannya seperti tahun lalu sampai sekarang. Beda halnya anak-anak atau pemuda-pemuda dulu, justru malam Lailatul Qadar menjadi moment sakral yang mengharuskan untuk membakar tempurung kelapa sebelum dan sesudah shalat tarwih.  

Saya sih tidak mengajak atau menyuruh anak-anak di kampung saya untuk kembali melakukan pembakaran tempurung kelapa. Ya, karena jaman sudah berbeda dan orang juga berbeda, tentu setiap generasi punya zamannya masing-masing. Hanya saja semangat dalam menyambut malam Lailatul Qadar itulah yang mesti dipertahankan. Jangan sampai karena sudah terobsesi dengan kecanggihan Android yang semakin massif membuat generasi terlena dengan dampak negatifnya. Sangat disayangkan jika arti kerjasama dan semangat dalam menyambut malam Lailatul Qadar dapat terlalaikan.  

Oleh karena itu, biarlah tulisan ini menjadi pengingat kembali bahwa dulu di kampung saya pernah eksis dan membudaya untuk membakar tempurung kelapa pada malam ke-27 ramadan. Walaupun dalam pembakaran tempurung kelapa itu hanyalah opini belaka sebagai jalan penerang agar rahmat Lalilatul Qadar datang ke rumah warga.

Namun, dengan adanya pembakaran tempurung kelapa justru menjadi pemantik orang-orang terdahulu untuk beramal lebih giat dalam menyambut malam Lailatul Qadar. Tidak hanya itu kerjasama antar para pembakar tempurung kelapa juga sangat terlihat, tidak seperti sekarang yang kebanyakan bersifat individualis dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan Android.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun