Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Membaca. Menulis. Foto-Kopi. | Menyukai pembahasan seputar gender equality, parenting dan sosial-budaya yang kerap terjadi sehari-hari. |

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Diari Timbangan: Gemuk atau Kurus Punya Kesusahannya Sendiri

17 September 2021   20:08 Diperbarui: 19 September 2021   00:00 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelebihan berat badan adalah momok bagi sebagian besar orang. Terutama untuk para puan. (Sumber: Pexel | Andres Aryton)

Berat badan adalah isu yang mengikat hampir seluruh orang di dunia, tidak peduli laki-laki atau puan; berat badan menjadi indikator sehat atau tidaknya seseorang.

Di lain cerita, berat badan pula sering kali menjadi acuan untuk menilai seseorang terlihat menarik atau tidak, berikut label "proporsional" yang menyertainya (baca: ini bahkan kerap dijadikan salah satu syarat di lowongan-lowongan kerja).

Kunci berat badan tak lepas dari empat (4) hal: asupan nutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi, aktivitas pembakaran kalori melalui olahraga, pengelolaan stres, dan istirahat yang cukup. 

Dan walaupun saya bukan tipikal orang yang menjadikan berat badan ideal sebagai acuan (baca: layaknya kebanyakan puan yang mudah cemas ketika timbangan mulai bergerak ke kanan), namun tetap saja bukan berarti saya bisa lepas dari padanya. Saya memiliki cerita tentang ini.

Saya sendiri sejak kanak-kanak masuk kategori anak bertubuh kurus—jika tidak ingin disebut ceking. 

Masih segar diingatan saya, bagaimana upaya orangtua saya—terlebih lagi mama—mencekoki saya dengan ragam vitamin merk ini dan itu, stok susu yang tak pernah kosong di dapur, sengaja berlangganan jamu gendong (baca: demi menambah nafsu makan)—bahkan tak lupa memberi obat cacing tiap enam bulan. Semua dilakukan demi bertambahnya berat badan. 

Tapi, tetap saja badan saya kurus: tinggi, leher panjang, dengan kaki yang diragukan bisa menopang badan. Saya memiliki tubuh seperti itu hingga saya berumur tiga belasan. 

Nafsu makan saya ketika masa kanak-kanak pun bisa dikatakan payah. Mama sering bilang, saya sering kali diam-diam membuang nasi saat jam makan datang.

Tentu saja, mana saya tahu pada saat itu kalau nafsu makan dan berat timbangan seorang anak adalah sebuah masalah besar bagi orangtua apalagi seorang ibu. 

Memasuki usia remaja, tubuh saya mulai menunjukkan perubahan: kian berisi.

Saya yang tadinya tidak suka makan sayur, sejak saat itu hingga sekarang menyukai olahan hampir segala jenis sayuran. Untuk lauk pun saya tidak terlalu picky.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun