Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan Tanpa Lagu

10 Mei 2021   21:53 Diperbarui: 10 Mei 2021   21:56 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid megah suatu malam (Foto: dok. pri)

Aswan menatap ombak yang mengantarkan buih-buih bersih ke tepi pantai. Pasir yang terhampar luas seolah mempertegas kesunyian hatinya. Berkali-kali burung camar terbang melintas, tapi tak sekali pun ia pedulikan. Ombak terus berdebur, berkelindan susul-menyusul, seperti hendak memotret hatinya yang hancur.

"Tak ada harapan lagi, Sul." Aswan berbicara lirih seperti ingin disimpan sendiri.

"Pikirkan lagi, Wan," ujar Samsul yang sedari tadi berdiri di dekatnya. "Ibumu menanti di rumah. Ayo pulang, pulanglah."

"Aku tak ingin membebani ibu dengan masalahku yang pelik ini. Aku merasa kotor, Sul...." Aswan berbicara dengan suara tertekan, jelas menunjukkan kesedihan atau penyesalan yang sulit ditafsirkan.

"Tak ada ibu yang menyalahkan anaknya. Tak perlu merasa kotor, apalagi hina, hanya karena masalah yang melilitmu." Samsul menepuk punggung sahabatnya, berharap ucapannya menghibur dan mengembalikan semangat Aswan. Di ujung sana matahari pagi akan segera menampakkan diri. Byangan perahu-perahu nelayan kian jelas saat akan merapat ke pantai setelah semalaman melaut.

"Kita semua kotor, kita semua punya salah. Ingat itu, Wan!" Imbuh Samsul sebelum Aswan sempat menanggapi. 

"Tapi utangku begitu besar, ada di mana-mana, Sul. Mungkin seperti hempasan pasir pesisir ini. Atau menjulang seperti perbukitan yang kau lihat di seberang sana.

"Utang bukan cela, apalagi jika tak kau buat dengan sengaja," Samsul kembali menyemangatinya. "Semua pasti ada jalan keluarnya, Wan. Percayalah. Ayo pulang, segera pulanglah. Sudah dua kali lebaran kau tak mengunjungi ibumu. Apa kau tak rindu dan bercengkerama bersama keluarga seperti kita masih kecil dulu?" Samsul menatap lekat pada sahabatnya, hendak mencari ketegasan pada raut wajahnya yang sedari tadi hampa.

Puisi tentang Ramadan saat di perantauan (Foto: dok. pri)
Puisi tentang Ramadan saat di perantauan (Foto: dok. pri)

Alih-alih menjawab, Aswan mengulurkan secarik kertas seperti memberi tanda agar Samsul membacanya. Debur ombak terus terdengar, perahu nelayan terus berdatangan. Sebagian menurunkan hasil tangkapan, sebagian lain mengangkat keranjang-keranjang berisi ikan menuju tempat pengumpulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun