Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Aku Juara MTQ Kecamatan, Jangan Berkomentar Asal-asalan!

3 Mei 2021   22:53 Diperbarui: 3 Mei 2021   23:18 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca ayat suci Al-Qur'an bukan sekadar kemerduan suara, tapi ketepatan bacaan. (Foto: dok. pri)

Hati saya mendongkol, sangat kesal pada seorang teman. Semua bermula dari komentarnya tentang kemampuan saya membaca Quran. Peristiwa itu terjadi saat kami duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di kota kami. Suatu hari seorang guru meminta saya membacakan ayat yang cukup panjang sebagai bagian dari pelajaran Aqidah Akhlak. Saya pun membacanya semampu saya, berbekal pelajaran sewaktu SD dan sempat belajar sebentar di pesantren kampung.

Singkat kata, Pak Guru itu puas dan memuji bacaan terutama suara saya yang merdu saat membacakan ayat pada bab tersebut. Sebagai anak ABG saya pun melayang, sangat bangga pada diri sendiri--sambil terngiang sejenak pujian serupa dari guru agama Islam saat SD dulu. Namun teman saya yang duduk di bangku seberang rupanya berpendapat lain. Ia menilai bacaan saya masih kacau, banyak kesalahan yang mesti dikoreksi jadi saya harus belajar lagi.

Juara MTQ kok dikritik!

Saya tentu saja tak bisa menerima kritiknya begitu saja. Karena waktu itu saya belum mengerti kata 'kritik', maka ucapannya saya anggap sebagai penilaian ngawur dan bahkan mengarah pada pencemaran nama baik, haha. Dia tak tahu saya juara I dalam MTQ tingkat kecamatan untuk kategori anak SD. Di luar sepengetahuan dia, saya juga menyabet juara I Azan tingkat Kabupaten untuk kategori pelajar SD. Lebih jauh lagi, ia sama sekali abai bahwa saya membacakan ayat dengan kemerduan dan gaya yang saya tiru dari qari kaliber internasional H. Muammar ZA yang legendaris. 

Patutlah ia tak tahu fakta itu, sebab ia bukanlah seorang qari seperti saya sering berlaga di banyak perlombaan, dari tingkat desa sampai kabupaten. Kendati dia anak seorang kiai yang punyaa pesantren, komentar pedasnya tentang kualitas bacaan Quran saya sangat tak berdasar; bukan hanya menyakitkan tapi juga bertentangan dengan guru Aqidah yang meminta saya membaca dan berujung pada pujian.

Walau tak terima dikomentari asal-asalan, saya tetap berteman dan bahkan menjadi sahabat teman pengkritik itu. Apalagi saat memasuki bangsu SMA ketika saya punya kesempatan mencicipi pendidikan di pondok pesantren. Setelah beberapa bulan berlalu, lewat orientasi dan jadwal ketat ala pesantren, saya mendapat tawaran untuk menjadi mentor atau guru mengaji bagi rekan santri lainnya. Peluang itu tak saya sia-siakan. Saya ikuti rangkaian tesnya, dari uji level satu oleh senior hingga uji tahap akhir oleh putra kiai yang kemudian didapuk mewarisi kepemimpinan di sana.

Digodok Surah Al-Ikhlas

Sukses di tahap pertama, rupanya saya terganjal saat diuji oleh Gus, sebutan akrab kami pada putra sulung pengasuh ponpes. Saya merasa sangat percaya diri dengan bacaan Surah Al-Fatihah karena ini surah yang sangat akrab, telah ratusan bahkan ribuan kali saya ulang setiap kali melaksanakan shalat. Namun fakta berbicara lain, perlu beberapa kesempatan untuk membenahi kualitas bacaan pada surah yang dikenal dengan Ummul Quran ini. 

Mejeng di depan musala Charley Van Houtten, Jombang tahun 2018 silam (Foto sekadar pelengap/dok. pri) 
Mejeng di depan musala Charley Van Houtten, Jombang tahun 2018 silam (Foto sekadar pelengap/dok. pri) 

Yang paling bikin musykil adalah saya malah lebih jeblok lagi saat diuji untuk membaca Surah Al-Ikhlas yang jauh lebih pendek dibanding Al-Fatihah. Surah andalan anak-anak TPQ dan anak PAUD yang mestinya bisa saya baca dengan mudah cepat ini rupanya menjadi katarsis yang mencuci diri dan mendewasakan mental saya. Berkali-kali harus mematangkan bacaan surah pendek ini membuat saya menyadari bahwa saya belum mengenal Allah sebagaimana yang saya yakini. 

Kendati saya kemudian lulus untuk tes surah-surah berikutnya, sepenggal fragmen di pesantren itu menampar saya sekuat-kuatnya, mencubit kesadaran saya bahwa banyak keterbatasan yang saya miliki meski saya meyakini sebaliknya. Saya boleh saja dititipi dengan suara yang lumayan untuk membawakan nagham atau lagu-lagu tilawah, tapi bahwa penguasaan esensi bacaan seperti tajwid tak bisa dipandang sebelah mata: harus digarap bersama. Bahkan jika harus memilih, ketepatan bacaan haruslah menjadi prioritas ketimbang nada dan irama.

Mengingat kenangan masa SMP ketika saya dikritik seorang teman, yang sampai kini masih menjadi sahabat, saya seolah dipaksa kembali membaca kisah Nabi Sulaiman saat ia meminta izin Tuhan untuk memberi makan makhluk. Dengan persiapan penuh selama 40 hari untuk bisa memberi makan makhluk selama 1 hari saja, Sulaiman ternyata sangat kewalahan untuk mengenyangkan perut paus--belum lagi ikan dan makhluk lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun