Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Kartu Lebaran hingga Testimoni Friendster, Mana yang Paling Berkesan untuk Mengucap Maaf?

22 Mei 2020   03:00 Diperbarui: 22 Mei 2020   03:12 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halo semuanya. Tak terasa lebaran akan tiba. Selain baju, kue, dan kegiatan bersih-bersih rumah, ada satu hal yang juga penting disiapkan menjelang lebaran ini. Apalagi kalau ucapan saling bermaafan.

Ucapan ini menjadi tradisi dan sering muncul yang dimulai pada malam takbiran. Pesan WA, story Instagram, dan status FB sudah mulai penuh dengan kerbat dekat yang merangkai kata kepada kita. Rangkaian kata ini pun semakin marak dengan aneka ikon atau smiley di dalam beragam aplikasi tersebut.

Sesungguhnya, merangkai ucapan kata saling bermaafan bukanlah hal baru dalam sejarah Idulfitri kita. Mengikuti perkembangan zaman, merangkai ucapan saling maaf menjadi tradisi yang tidak akan pernah hilang. Tradisi ini bermuara kepada upaya kita untuk lebih dekat dengan kerabat atau teman dalam momen Idulfitri.

Dibandingkan dengan hanya sekadar mengucapkan “Selamat Idulfitri Mohon Maaf Lahir Batin”, rangkaian kata indah yang terukir akan menambah semangat kita bersilaturahmi. Meski, ada juga yang menganggap bahwa terlalu banyak rangkaian kata itu malah membuat esensi saling bermaafan menjadi tidak kentara. Kita malah berlomba-lomba membuat rangkaian kata yang menarik dibandingkan menyiapkan hati yang ikhlas.

Apapun itu, sebagai generasi 90an, perjalanan saling bermaafan menggunakan berbagai media ini cukup unik. Kami bisa dibilang mengalami peralihan berbagai macam teknologi sehingga harus beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Dimulai dari kartu lebaran, pengalaman saling bermaafan lewat pos menjadi hal yang tak terlupakan. Sayangnya, pengalaman menggunakan media kartu lebaran ini hanya sebentar karena popularitas kartu lebaran yang makin hari makin menurun.

Dulu, saya selalu menyempatkan pergi ke kantor pos untuk mengirimkan kartu lebaran sebagai ucapan maaf menjelang lebaran. Kartu ini diberikan kepada sanak saudara di luar kota. Yang paling saya ingat, saya selalu diajak oleh ibu saya untuk pergi Kantor Pos Besar Malang sekalian membeli baju lebaran di Gajahmada Plaza Malang.

Di sana, saya diminta oleh beliau untuk memilih 2 kartu lebaran. Masing-masing untuk saudara di Kediri dan mantan baby sitter yang pernah mengasuh saya. Kebetulan beliau saat itu sedang bekerja di Batam. Sedangkan, ibu saya membeli kartu lebaran untuk teman lamanya. Entah teman SMA atau teman lainnya. Tentu, kartu lebaran dengan ukuran kecil bergambar kartun anak bersarung dan memukul bedug yang saya pilih.

Di kantor pos pula, saya belajar untuk menulis ucapan saling bermaafan walau dengan tulisan yang cukup jelek. Perangko bergambar pesawat terbang atau Pak Harto Mesem seharga 300 rupiah pun menjadi alat pembayaran kartu tersebut. Biasanya, saya mendapat balasan kartu lebaran seminggu setelah lebaran usai.

Jika ada rezeki, ibu saya kadang membeli kartu telepon umum yang bisa digunakan pada telepon umum kartu. Kebetulan, di dekat rumah saya ada sebuah telepon umum kartu. Dibandingkan telepon umum koin, telepon jenis ini bisa digunakan untuk telepon SLJJ dengan waktu lama. Jadi, saya bisa berbicara kepada kerabat yang memiliki telepon. Ucapan saling bermaafan pun jadi lebih seru karena kami bisa mengobrol lebih leluasa. Sayangnya, kegiatan ini tak berlangsung lama karena adanya krisis 1997 sehingga membuat eksistensinya menjadi langka.

Ketika beranjak remaja, ponsel menjadi alat yang praktis untuk mengirim ucapan saling bermaafan. Bukan hal yang umum lagi, ada beberapa kalimat SMS yang seakan menjadi khas sebagai ajang untuk saling bermaafan. Seperti setetes embun pagi hari yang jatuh atau ketika tangan tak lagi mampu menjabat sering saya dapat. Eh, jika dipikir-pikir, kalimat ketika tangan tak lagi mampu menjabat ternyata bisa jadi kenyataan ya saat ini dengan larangan untuk berjabat tangan di musim corona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun