Geliat menyambut hari raya Idul Fitri mulai terasa. Pernah di suatu masa, nuansanya bagi saya berubah duka tinimbang suka. Walaupun yang bersuka ria di hari kemenangan itu tetap tak terhitung jumlahnya.
Sudah menjadi tradisi sejak puluhan tahun yang lalu. Setiap hari raya kedua, keluarga besar bapak saya selalu mengadakan acara halal bihalal. Hanya tahun lalu dan tahun ini, ditiadakan karena pandemi.
Enam saudara kandung bergiliran jadi tuan rumah. Yang hadir rata-rata lebih dari seratus orang. Kami membentuk organisasi paguyuban yang memiliki Anggaran Dasar dan Pengurus.Â
Setiap akan hadir, saya gundah. Muram, murung, dan bingung. Itu karena ingatan mak nyut melanglang ke almarhumah ibu. Beliau wafat, persis hari pertama Idul Fitri. Sebagai diabetisi, ibu masih sempat menyiapkan segala sesuatu sebelum acara lebaran.
Sejak menjadi yatim piatu itulah persepsi saya tentang mudik mulai berubah. Citra tentang rasa yang menghunjam, akhirnya mudah memahami terhadap himbauan Pemerintah saat ini. Mudik bagi orang per orang pasti tidak sama alasannya. Walau tidak bisa mudik lagi, saya masih bisa berjumpa dengan orang tua lewat doa.