Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menimbang Batas-batas Realis dalam Fiksi

15 Januari 2018   20:50 Diperbarui: 16 Januari 2018   20:10 1974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@_HarRam)

HB. Jassin pernah ditangkap karena dianggap telah melindungi seorang penista agama yang menulis di majalah tempat ia pimpin. Ia bersikeras merahasiakan penulis asli --sebab pada cerpen yang dimuat, si penulis menggunakan nama pena: Panji Kusuma. Penulis itu dituduhkan atas cerpennya yang berjudul "Langit Makin Mendung". Kantor majalah Sastra diserang oleh sekelompok orang. Ia kemudian meminta maaf. Namun, tetap saja ia diadili masa percobaan satu tahun.

Tapi begitulah HB Jassin, baginya, imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Ia percaya, "bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri."

Untuk menyederhanakan apa yang dimaksud HB. Jassin, barangkali, kita bisa mengurai ini: esai adalah produk jurnalistik, sedangkan cerpen (serta puisi dan prosa) merupakan produk fiksi. Keduanya memiliki perlakuan yang berbeda ketika hendak mengeksekusinya. Semisal, jika mengutip apa yang ditulis Andreas Harsono dalam pengatar "Jurnalisme Sastrawi", tidak boleh ada satu titikpun yang fiktif dalam laporan jurnalistik. "Setiap detail harus berupa fakta," tulisnya.

"Imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri." ― HB. Jassin.

Namun, bagaimana dengan cerita-cerita fiksi yang menggunakan fakta sebagai tulang punggung karyanya? Bacalah kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Adjidarma. Itu adalah karya fiksi seutuhnya yang menggunakan fakta sebagai tulang punggungnya. Cerpen-cerpen yang berkisah tentang represi Militer Indonesia selama di Timor Leste, 1991. Adjidarma, kata Andreas Harsono, membuat cerita fiksi justru karena ia tidak bisa menulis fakta. "Nama-nama diganti. Tempat tidak disebutkan jelas," lanjutnya.

Seno Gumira Adjidarma bukan tidak sanggup menulis fakta. Sebab, biar bagaimanapun, ia adalah pemimpin redaksi sebuah majalah. Tapi pada saat itu Soeharto dan pasukannya selalu merepresi itu. Dan begitulah, barangkali, cara Seno Gumira Adjidarma tetap melakukan aktualisasi. Sebab kepahitan, biar bagaimanapjn mesti tetap dituliskan --untuk kemudian bisa dibaca. Sebab, begitulah jalan kebenaran.

***

Realis merupakan istilah yang sering digunakan dalam cerita-cerita fiksi untuk mendeskripsikan suatu karangan yang nyata. Genre inilah, realis, yang banyak digandrungi penulis-penulis kita. Formula singkatnya: peristiwa sungguhan yang tinggal diimbuhi bumbu-bumbu drama agar supaya menarik.

"Ibu pergi ke pasar, Ayah ke kantor dan Adik ke sekolah". Ini kejadian faktuil. Bila ingin membuatnya menarik, sila tambahkan hal-hal yang sekiranya membuat pembaca penasaran atau terasa terlibat dalam suasana dalam cerita. Semisal: Ibu pergi ke pasar, Ayah ke kantor dan Adik ke sekolah. Sedangkan aku, masih di kamar, mengutuki kantuk dan mata yang tidak ingin terpejam itu datang. Cukuplah sudah bersedih semalaman.

Membaca karya-karya yang realis itu tentu jauh lebih menarik daripada surealis. Karena kebanyakan kisah yang diangkat adalah hal-hal yang kadung kita akrabi. Tema percintaan, misalnya, tidak akan habis hingga ke generasi sekian. Sebab semua orang pasti merasakan (atau, paling tidak pernah melihatnya) hal tersebut. Namun, yang menjadi rumit ketika membuat sesuatu yang realis ini adalah: bagaimana kisah yang dibuat berbeda dengan yang lain? Karena lebih baik, rasa-rasanya tidak cukup, bukan?

Tidak perlu ragu dan/atau takut. Anggaplah itu sebagai tantangan. Sebagaimana yang sering kita tahu dari motivator-motivator, "ketika bertemu tantangan itu hadapi, bukan malah memalingkan diri." Yha, jadi tantangan cukup dihadapi saja maksudnya? Dihadapi tanpa diberi solusi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun