Ikrom Zain
Ikrom Zain Tutor

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Konsep Ekonomi, Psikologi, dan Kimia sebagai Pengendali Pengeluaran saat Bulan Puasa

28 Mei 2018   03:00 Diperbarui: 28 Mei 2018   03:07 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsep Ekonomi, Psikologi, dan Kimia sebagai Pengendali Pengeluaran saat Bulan Puasa
Ilustrasi berbuka puasa. Dokumen Pribadi,

Dari 10 teman dekat saya, 7 diantaranya mengeluh tidak memiliki uang cukup ketika Ramadhan datang.

Dan, bisa dipastikan acara bukber dan pasar takjil menjadi tertuduh penyebab defisit anggaran selama Ramadhan berlangsung. Nah benarkah acar bukber yang seharusnya menjadi ajang silturahmi menyebabkan banyak pengeluaran tak terduga dan malah menipiskan dompet? Atau memang, ada hal-hal lain yang justru membuat pengeluaran kita semakin bertambah?

Pada hakikatnya, puasa adalah bentuk pengendalian diri terhadap segala hawa nafsu kita. Bahkan menurut pendapat beberapa ulama, ketika bulan puasa setan-setan dibelenggu dan pintu-pintu surga dibuka. Artinya secara logika, pada bulan Ramadhan kaum muslimin bisa lebih bisa mengendalikan diri. Tapi, mengapa terjadi sebaliknya?

Ternyata, salah satu penyebab utamanya adalah sifat dasar manusia yang melekat di dalam diri. Serakah. Sifat yang tidak akan puas dan ingin memiliki lebih dari apa yang dimiliki membuat manusia tak pernah puas. Dalam hukum ekonomi, kita mungkin pernah belajar tentang Hukum Gosen yang berbicara mengenai tingkat kepuasan seseorang. Salah satu hukum ini berbunyi," Jika pemenuhan kebutuhan akan suatu barang dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus maka tingkat kepuasan atau nilai kegunaan akan semakin tinggi, namun jika hal ini tidak dihentikan maka setiap tambahan dari konsumsi yang dilakukan akan menghasilkan kepuasan yang kecil atau nilai kegunaan akan berkurang".

Ketika kita tidak berpuasa, kita akan cepat puas dengan apa yang kita dapat. Terutama, dalam hal pemenuhan kebutuhan akan makanan. Ketika berpuasa, pemenuhan akan kebutuhan makanan ditunda selama beberapa waktu menunggu berbuka puasa. Maka, sesorang akan mencoba untuk melakukan tambahan konsumsi dengan harapan ia akan memperoleh kepuasan yang lebih terhadap apa yang ia konsumsi. 

Sehingga, ketika berbuka puasa, ia akan menambah porsi makanan, jenis makanan, hingga segala hal yang tak ia lakukan ketika tidak berpuasa. Padahal, dari Hukum Gosen ini tersirat dengan tambahan konsumsi yang dilakukan, maka kepuasan yang terjadi akan menjadi kecil. Inilah alasan mengapa ketika sebelum berbuka kita seakan ingin melahap semua makanan di depan kita yang begitu banyak namun pada akhirnya terasa kenyang walau hanya makan beberapa saja.

Di dalam ilmu psikologi, kita mengenal bagian otak yang disebut dengan amigdala. Bagian ini berfungsi sebagai pusat pengendali emosi. Nah menurut teori emosi yang dikemukakan oleh Zilman, ketika sesorang berada dalam kondisi tidak bisa mengendalikan diri, maka akan terjadi sebuah peristiwa yang disebut dengan "pembajakan emosi". 

Kondisi ini sejatinya tidak terjadi selama kita berpuasa di siang hari. Meskipun di depan kita ada orang yang makan enak dan minum es kepal Milo dengan nikmat, otak kita masih bisa berpikir jernih dan berkata,"pesawat dalam keadaan aman". Saya niat berpuasa, ini masih siang, kamu boleh makan apapun di depan saya.

Tapi, begitu menjelang detik-detik berbuka puasa, yang terjadi adalah perubahan persepsi yang memicu emosi. Di dalam otak kita, mulai muncul sinyal bahwa "kemerdekaan" itu akan berlangsung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Alias, waktu berbuka sebentar lagi.

Nah, pemicu ini akan menyebabkan peningkatan katekolamin, sebuah hormon dengan gugus fungsi katekol. Senyawa ini dibangkitkan oleh amigdala di dalam otak. Ketika pemicu peningkatan hormon ini berlangsung yang terjadi adalah efek domino pada peningkatan-peningkatan seterusnya. Akibat yang terjadi adalah kadar perangsangan fisiologis dalam tubuh meningkat.

Peningkatan kadar perangsangan fisologis akan membuat gelombang emosi negatif akan terus berlangsung. Emosi negatif ini timbul bersamaan dengan puncak rasa lapar yang biasanya menyerang menjelang detik-detik berbuka puasa. Pada saat itu, intensitas emosi akan lebih hebat dari sebelumnya. Dan akhirnya, emosi ini sulit dikendalikan oleh nalar. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah jika tidak bisa mengendalikan diri, maka orang tersebut akan kalap ketika berbelanja di pasar takjil. Ia akan kalap di depan meja makan dengan aneka makanan yang tumpah ruah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun