Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Utang Mahar yang Tidak Terbayar

20 Januari 2018   09:25 Diperbarui: 20 Januari 2018   20:57 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrai, mahar pernikahan Dullah kepada Fatimah yang dibayar tidak dengan tunai. Foto | Belajar Islam.com

Akhirnya Ustaz Syarif menikahkan puterinya Fatimah dengan anak juragan pedagang sarang burung walet malam itu juga. Maharnya berupa 100 gram emas, seperangkat alat shalat dan membaca surat hafalan Al-Waqi'ah yang tidak dibayar tunai melainkan dengan cara utang.

Juragan Sulaeman, pedagang sarang burung walet yang namanya memang kondang di Kota Pontianak sudah lama menginginkan putera semata wayangnya Dullah dapat menikah dengan Fatimah. Alasan Sulaeman rada "ngotot" ingin punya mantu Fatimah selain dianggap ideal bagi anaknya, juga sangat cocok jika ditinjau dari sisi keyakinan, wajah, dan perilaku cantik yang melekat pada Fatimah.

Dullah pun terlihat "kebelet" ingin segera dinikahkan dengan Fatimah. Dullah memang sudah lama "mengintai" Fatimah meski kediamannya dipisahkan Sungai Kapuas yang lebarnya hampir satu kilometer itu. Sungai terpanjang di Indonesia ini tidak menghalangi kemauan Dullah jika tengah rindu ingin menjumpai Fatimah.

Malam minggu, Dullah merasa dirinya rindu berat dengan Fatimah. Tak kuasa menahan rindu, meski sudah di atas jam sembilan malam, ia meninggalkan rumah. Mobil dari garasi dikeluarkan tanpa sepengetahuan anggota keluarga. Tetapi ia tidak membawa kendaraan roda empatnya itu melintas jembatan Kapuas yang menanjak bagai mendaki gunung.

Dullah memilih memarkir kendaraannya di tepi sungai, kawasan parkir pasar terdekat di gang sempit. Lantas, ia menyeberang sungai dengan menyewa sampan kecil. Di atas sungai, sepanjang melintas, ia seolah menikmati merdunya suara air tawar dan asin bertemu. Wajah Fatimah pun muncul. Dullah merasakan itu.

Ketika melihat permukaan air sungai, Fatimah hadir dan tampak di hadapan Dullah. Dullah memandang langit, Fatimah pun hadir bersama bintang-bintang bersama rembulan yang kadang diselimuti kabut putih. Dullah merasa heran, dirinya kini semakin bersemangat mendatangi kediaman Fatimah. Ia ingin meloncat ke sungai dan belari cepat ke kediaman Fatimah. Perasaan ini dirasakan berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Dan, perahu pun sudah menepi. Di tempat pemberhentian, setelah memberi upah kepada penggayuh sampan, Dullah meloncat ke tangga. Ia melesat ke atas. Dari sisi Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman, masjid tertua di Pontianak, Kalimantan Barat ini, Dullah melangkahkan kakinya dengan cepat.

Gertas (jembaan terbuat dari papan) dan lorong jalan bermukaan kayu belian dilewati. Meski saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Dullah sudah tak memikirkan lagi apakah orang tua Fatimah masih bersedia membukakan pintu.

"Rasanya, diusir sih tak dak. Itu tak bakal terjadi. Kan, Pak Syarif itu ustaz. Paling bermuka masam," pikir Dullah di tengah jalan sempit dan kadang berjumpa dengan orang-orang pejiarah di masjid bersejarah itu.

***

Pintu pagar rumah tak dikunci. Ini kebiasaan Ustaz Syarif sehingga memudahkan Dullah nyelonong masuk ke kediaman Fatimah. Pintu rumah pun diketuk disertai ucapan Assalamu'alaikum. Sang tuan rumah sudah menduga, sang tamu adalah pacar Fatimah. Dan benar. Setelah sang tamu mencium tangan orang tua Fatimah, Dullah dipersilahkan duduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun