Waktu masih bujang, saya pernah beli kaset  -- (((Kaset ))) jadul banget yak --  lagu anak bilingual dari Neno Warisman bersama group vokal 'Aulade Gemintang".  Ada satu lagu anak yang hitz kala itu, dalam satu cover berjudul 'Alif-ba-ta' adalah lagu berjudul  'Masjid Aku Datang' atau "Masjid Here I Come". Setiap mendengar lagu "Masjid Aku datang" sembari saya selipkan harap, kelak kalau punya anak bisa diajak mencintai masjid -- lagunya silakan digoogling.
Di Indonesia yang mayoritas muslim, Masjid dan atau Musholla dengan mudahnya bisa ditemui di mana-mana. Tapi kalau mau jujur bertanya pada diri, berapa kali dalam sehari kaki kita melangkah ke tempat ibadah itu. Padahal pintu pintu masjid terbuka lebar, tidak pernah menolak kehadiran kita untuk masuk dan sholat di dalamnya
Masapun jauh berlalu, harapan lama -- setiap mendengar lagu Masjid Aku datang-- masih membekas dan tertanam di benak. Takdir membawa pada pertemuan dengan jodoh, kemudian memutuskan untuk menikah dan memiliki keturunan. Betapa tidak mudah mewujudkan impian, apalagi impian itu tidak tertuju pada diri sendiri -- baca anak.
Sejauh pengalaman saya rasakan, tak ada ajakan kebaikan -- pergi ke masjid -- yang lebih manjur, kecuali memberi teladan pada anak-anak. Bahasa sederhananya, kalau pengin punya anak yang cinta masjid, kita orang tuanya musti cinta masjid lebih dulu.
Tidak ada ceritanya, pengin punya anak yang cinta masjid, tapi orang tuanya sendiri malas-malasan pergi ke masjid. Kalaupun memang ada --seperti cerita sinetron---anaknya soleh, tapi punya ayah yang kelakuannya bejat -- mungkin itu hanya satu diantara seribu.
-00oo00-
"Perjalanan paling berat dan jauh adalah perjalanan menuju masjid", saya pernah baca quote keren ini di akun medsos aktivitis rohis. Saya yakin anda sepakat dengan quote tersebut, atau bisa jadi saya dan atau anda salah satu pelakunya -- berat ke masjid.
Padahal suara adzan sudah jelas berkumandang --melalui pengeras --, tapi dua kaki tak bergeser sedikitpun dari tempat duduk. Masih asyik dengan rokok di tangan, dua bola mata masih saja menatap layar handphone atau televisi.
Padahal letak masjid hanya beberapa gang, atau bahkan hanya beberapa langkah dari rumah. Kalau melihat dan mengukur dari jarak, masjid tak lebih jauh dari --misal -- pusat perbelanjaan atau kantor tempat bekerja. Uniknya pergi ke kantor bisa tepat waktu, bahkan kalaupun jarak terlalu jauh, dibela-belain berangkat sebelum subuh. Bagi hati sama sekali tidak atau belum tergerak, akan berat untuk bergegas mendatangi sumber panggilan mulia.
Ramadan saatnya mengintrospeksi dan mengingatkan diri, akan harapan yang pernah saya pendam dulu -- saat membeli kaset lagu anak-anak Masjid Aku Datang. Akhirnya saya menyadari, bahwa saya telah jauh dari masjid tepatnya menjauhkan diri.
Ramadhan Saatnya Menumbuhkan Cinta Kepada Masjid
Tiga hari pertama di bulan Ramadan telah kita jalani, saya berusaha menjaga kecintaan pada masjid. Jari tangan belum genap menghitung hari di bulan Ramadan, saya bergeming menjaga sholat wajib dan sholat sunah di masjid.